Budi Arie Bilang Prabowo-Gibran Tak Bentuk Koalisi Gemuk Tapi Koalisi Gemoy
Ketua Umun DPP Projo Budi Arie Setiadi mengatakan acara potong tumpeng ini menandakan bahwa pasangan Prabowo-Gibran murni menang atas suara rakyat.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lebih kurang 288 hari lagi Indonesia akan memiliki pemerintahan baru saat Presiden dan Wakil Presiden terpilih itu dilantik.
Organisasi Relawan Projo telah melakukan potong tumpeng syukuran Kemenangan Calon Presiden - Wakil Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming di Pancoran Timur Raya, Jakarta Selatan, Senin (18/3/2024).
Meskipun belum resmi diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Projo kadung yakin Prabowo-Gibran akan ditetapkan sebagai pemenang berdasarkan real count (hitung resmi).
Ketua Umun DPP Projo Budi Arie Setiadi mengatakan acara potong tumpeng ini menandakan bahwa pasangan Prabowo-Gibran murni menang atas suara rakyat.
“Ini tentu kepercayaan masyarakat yang tantangannya juga agak berat ke depan dunia ini sedang tidak baik. Jepang dan Inggris resesi sehingga kita harus bekerja keras,” katanya.
Baca juga: Respon Ketua Umum PAN, Koleganya di Koalisi Minta Jatah 5 Menteri Jika Prabowo Dilantik Presiden
Menurutnya, yang lebih penting lagi menjaga persatuan Indonesia untuk menuju Indonesia Emas 2045.
“Hal itu yang selalu ditekankan oleh Pak Prabowo kepada kami,” ucap Budi.
Sekitar 21 tahun lagi bumi pertiwi akan menginjak ulang tahun yang ke-100.
Dan untuk menjadi negara maju syaratnya Indonesia mesti bersatu, tidak ada cara lain.
“Dengan demikian supaya kita menjadi negara maju ini ditentukan dari kita memilih pemimpin 20 tahun ke depan,” imbuhnya.
Budi Arie turut menyerahkan santunan bingkisan kepada puluhan anak yatim yang hadir dalam buka puasa bersama.
Kemudian acara dilanjutkan potong tumpeng nasi kuning yang dibagikan kepada para tamu pengurus DPP Projo.
Dia pun menegaskan bahwa rekonsiliasi nasional pasca Pemilu 2024 untuk membangun negara secara bersama-sama dalah keharusan.
Rekonsiliasi ini dianggap sebagai kunci menuju persatuan nasional yang diperlukan untuk kemajuan bangsa.
"Harus, rekonsiliasi itu penting karena untuk menjadi negara maju perlu persatuan nasional sehingga kami mendukung adanya rekonsiliasi nasional," kata Budi.
Dalam pandangannya, rekonsiliasi bakal memungkinkan pelaksanaan program-program besar dari pemerintahan Prabowo-Gibran dengan dukungan dari berbagai pihak.
Meskipun beberapa pihak menyebut kemungkinan terbentuknya koalisi besar, Budi lebih memilih istilah koalisi gemoy.
Arti gemoy yang melekat terhadap Prabowo lebih cocok dengan situasi yang akan dihadapi.
"Koalisi enggak gemuk enggak kurus, tetapi koalisi gemoy. Kamu terjemahin deh sesuai dengan namanya. Dikutip saja, koalisinya bukan gemuk atau kurus, tapi koalisi gemoy,” ujarnya.
Namun demikian, Budi menyebut koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran masih relatif lama karena masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin belum habis.
“Tunggu saja, sabar saja ini kan Kabinet Indonesia Maju Pak Jokowi-Ma'ruf Amin kan masih 7 bulan lagi. Masih banyak yang bisa dilakukan,” ucapnya.
Komposisi Proposional
Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin menilai komposisi kabinet Prabowo-Gibran yang kemungkinan dilantik 20 Oktober akan lebih baik 50:50.
Itu artinya 50 persen dari parpol dan 50 persen dari teknokrat sehingga ada kesinambungan dalam membuat kebijakan.
“Atau koalisi yang besar ini bisa juga agar kabinet dibentuk dengan komposisi 60 persen parpol dan 40 persen profesional,” tuturnya.
Dia menturukan bahwa kelak kabinet Pemerintahan akan ideal menunjuk orang teknokrat di posisi strategis seperti Menteri Keuangan.
Menurutnya, bendahara negara berlatar belakang profesional atau ahli dalam bidang itu memperkecil kemungkinkan konflik kepentingan.
“Memang idealnya harus dari teknokrat karena bertugas sebagai pengelola keuangan negara. Menteri dari parpol memiliki risiko lebih besar sebab ada konflik kepentingan di belakannya,” kata Ujang.
Ujang menilai sudah bukan rahasia umum lagi seorang kader partai yang diberi mandat sebagai menteri strategis kemudian justru menjadi sumber pencarian uang.
Berkaca dari yang sudah, menteri dari kader partai biasanya diminta sumbangan oleh parpol.
Sehingga disitulah kemudian terjadi praktik transaksi yang mengarah kepada korupsi.
“Sudah bukan rahasia lagi menteri dari parpol menjadi mesin ATM dan sumber pencarian dana untuk partai,” ungkap Ujang.
Apabila dipaksakan, imbuh dia, menteri dari partai bisa merepotkan pemerintahan bahkan terjadi kebocoran-kebocoran anggaran hingga adanya potensi korupsi besar-besaran.
Dosen politik dari Universitas Al Azhar Indonesia ini melihat menteri keuangan dari teknokrat, profesional atau ahli harus tetap dipertahankan di pemerintahan terpilih ke depan.
Menteri non-partisan ini cenderung bisa betul-betul bekerja untuk kepentingan presiden, bangsa dan negara, bukan untuk partai politik.
Ujang beruturr bukan menganggap kader parpol tidak dapat melaksanakan tugas menjadi Menteri Keuangan tetapi lebih baik menghindari konflik kepentingan tadi.
“Banyak tokoh parpol yang punya kompetensi untuk menjadi bendahara negara tetapi akan memiliki konflik kepentingan yang amat tinggi,” ucap Ujang.
“Sebagai kader parpol dia pasti akan mengutamakan partainya dan itu berbahaya,” tukasnya.