Adu Argumen Putri Maqdir Ismail Vs Otto Hasibuan soal Kewenangan MK Periksa Pelanggaran TSM
Undang-undang Pemilu, kata dia, tidak mengatur mengenai nepotisme yang dilakukan oleh presiden sebagai bagian dari pelanggaran dari TSM karena undang-
Penulis: Gita Irawan
Editor: Acos Abdul Qodir
Ketidak efektifan penyelenggara pemilu yang kedua, lanjut dia, adalah DKPP.
DKPP, kata dia, melindungi termohon (KPU) yang dipimpin (Ketua KPU) Hasyim Asy'ari.
Hal tersebut, lanjut dia, terbukti dari tidak pernah diberhentikannya Hasyim Asy'ari meski sudah 4 kali diputus melakukan pelanggaran etika.
"Ketidakefektifan ketiga adalah Bawaslu yang tidak efektif dalam menyelesaikan laporan yang disampaikan kepadanya sebagaimana terbukti dari terlalu formalistiknya Bawaslu dalam menanggapi berbagai pelanggaran yang terjadi di lapangan," kata dia.
Secara teoretis, lanjut dia, kewenangan MK untuk memeriksa pelanggaran TSM yang terjadi dalam Pilpres 2024 lahir dari beberapa argumentasi.
Pertama, kata dia, MK sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman tidak seyogyanya menolak perkara dengan alasan kekosongan hukum sebagaimana digariskan dalam pasal 10 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman.
"Justru MK seyogyanya menemukan penemuan hukum guna dapat memeriksa permohonan a quo," kata dia.
Kedua, lanjut dia, MK adalah lembaga yang didesain untuk menjaga dan melindungi konstitusi dan karenanya harus patuh pada desain konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam pasal 24 C Ayat 1 UUD 1945.
Hal itu, lanjut dia, yakni untuk memutus perselisihan hasil pemilu dan tidak terjebak pada batasan yang dibuat dalam pasal 475 ayat 1 UU Pemilu yang menjadikan MK sebagai Mahkamah Kalkulator.
"Jika MK hanya bertindak sebagai negarawan yang sekaligus begawan hukum yang melakukannya, cukup kita berikan kesalahan perhitungan pada auditor," kata dia.
Baca juga: VIDEO Gerindra: Kami Tidak Pernah Tawarkan Ganjar dan Anies Kursi Kabinet
Dasar ketiga, lanjut dia, adalah MK sebagai cabang dari kekuasaan yudikatif secara institusional berwenang untuk mengawasi jalannya pelaksanaan kewenangan cabang kekuasan eksekutif.
Hal tersebut, kata dia, termasuk termohon (KPU) yang baru bisa terjadi jika MK kembali kepada marwahnya sebagaimana ditentukan dalam pasal 24 C ayat 1 UUD 1945.
Keempat, kata dia, MK melalui putusan nomor 22/PHPU-D tahun 2010 telah mengantisipasi terjadinya penggunaan kekuasaan sebagai jalan untuk memenangkan pemilu dengan menyatakan bahwa hegemoni kekuasaan yang tidak terawasi dalam proses pemilu dapat menghasilkan pemilu yang penuh kecurangan dan karenanya perlu untuk diulang, hal mana merupakan refleksi sempurna dari Pilpres 2024.
Jika MK berkeras bahwa dirinya hanya berwenang untuk memeriksa hasil pernghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon, lanjut dia, maka sama saja MK melegitimasi kecurangan dalam proses dalam pemilihan umum.