Mantan Ketua BEM UI Sebut Duet Prabowo-Gibran Bukan Representasi dan Harapan Anak Muda
Mantan Ketua BEM UI mengatakan Prabowo bukan anak muda karena berusia 71 tahun
Penulis: Yulis
Editor: Erik S
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Pasangan calon (paslon) nomor 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dinilai bukan representasi dan harapan anak muda. Kemenangan paslon ini pada Pilpres 2024 telah menutup rapat pintu bagi anak muda idealis mengisi jabatan publik.
Hal itu disampaikan mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Melki Sedek Huang dan Ketua BEM Universitas Paramadina Afiq Naufal, yang dikutip dari podcast Abraham Samad “Speak Up,” Jumat (12/4/2024).
Menurut Melki, Prabowo bukan anak muda karena berusia 71 tahun. Kemungkinan Prabowo suka berpolitik sejak muda, namun baru memenangkan Pilpres pada usia 71 tahun.
Baca juga: Melki BEM UI Ajukan Surat Keberatan, Akui Hanya Diperiksa Satu Kali, Sebut Ada Kejanggalan
Sementara itu, Gibran berusia muda tetapi bukan representasi anak muda karena putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu tidak menghargai konstitusi, hak asasi manusia (HAM), dan tidak melindungi demokrasi dari kerusakan. Padahal anak muda sangat membutuhkan itu untuk menjamin keberlangsungan suara anak muda pada masa datang.
Melki menyatakan, kemenangan Prabowo-Gibran telah menutup pintu bagi semua anak muda idealis, yang ingin memperbaiki bangsa.
“Prabowo-Gibran telah menutup pintu bagi semua anak muda yang ingin hadir di jabatan publik karena politik dinasti dan nepotisme, yang dipraktikkan tidak menghargai jatah orang miskin untuk menjadi pemimpin dan menghalangi orang susah untuk menjadi penguasa,” ujarnya.
Menurut Afiq, akibat praktik nepotisme yang dilakukan Jokowi, anak muda di kampus semakin skeptis terhadap politik karena semua tergantung pada keberadaan orang dalam.
“Gibran ancaman bagi anak muda, kesetaraan hak dan kesempatan yang sama sudah tidak ada lagi,” ujar pria asal Parepare Sulawesi Selatan itu.
Melki menekankan, Gibran sangat jauh dari representasi anak muda yang diinginkan. Anak muda, ujarnya, bukan sekadar anak pejabat, anak pelaku bisnis, anak pengusaha, anak politisi, apalagi anak presiden.
Anak pengusaha, lanjutnya, adalah anak petani di kampung-kampung, anak nelayan di tiap pesisir pantai, anak buruh yang orang tuanya tiap hari pulang malam karena bekerja demi mendapatkan gaji yang tidak seberapa, sangat tergantung pada negara, HAM, dan hukum untuk keberlangsungan hidup.
“Jadi, anak muda itu harusnya direpresentasikan oleh orang yang setiap hari menggunakan usahanya sendiri untuk mengubah keadaan tanpa mengubah konstitusi, tanpa mengacak-acak hukum dan konsep negara yang baik,” tegas dia.
Barang Kotor
Lebih lanjut, praktik kecurangan pertama dan utama pada Pilpres 2024 bukan pada proses kampanye, melainkan di Mahkamah Konstitusi (MK) lewat putusan MK Nomor 90/2023 yang memuluskan jalan Gibran menjadi calon wakil presiden (Cawapres).
“Ini kecurangan paling utama dan pertama dan membuat generasi muda hari ini percaya bahwa politik itu adalah barang kotor yang bisa mengubah hukum, konstitusi, mengenyampingkan etik hanya untuk mendapat kekuasaan,” jelas Melki.
Sementara itu, Afiq menyatakan, di kalangan anak muda Gibran tak lebih dari second account dari Jokowi untuk melanggengkan kekuasaannya.
Baca juga: Tak Hadir Aksi Geruduk MK, Ketua BEM UI Nonaktif Melki Beri Penjelasan
Pasalnya, mahasiswa dan masyarakat sipil pada tahun 2021 dengan keras menolak perpanjangan jabatan Jokowi, dan kini dia melanjutkan kekuasaannya lewat second account melalui putranya.
Afiq menambahkan, praktik politik keluarga yang diperlihatkan Jokowi adalah praktik pelanggengan kekuasaan yang brutal bila dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya.
“Kalau lihat sejarah Soekarno ke anaknya, Soeharto ke anaknya, Habibie dan ke anaknya semua proses kurang lebih menghormati konstitusi dan HAM anaknya, tapi hari ini semua dilanggengkan,” kata Afiq. (*)