Guru Besar, Pengamat & BRIN Bicara soal Pemilu 2024: Keruntuhan Wibawa MK hingga Cawe-cawe Penguasa
Busyro menyebut prinsip kompetensi, kapasitas, integritas dan profesionalitas sebagai standar memimpin Indonesia dinistakan melalui putusan MK.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Dewi Agustina
Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik LIPI dan Peneliti Utama Politik BRIN, Siti Zuhro menilai bahwa Pemilu 2024 merupakan salah satu pemilu terburuk sepanjang sejarah RI.
Siti Zuhro bahkan menyebut, selama Indonesia berdiri, baru kali ini ada pemilu yang membahayakan NKRI.
"Pengalaman 6 kali era revormasi sejak pemilu pertama kali sejak tahun 1999 sampai 2024. Pemilu 2024 ini merupakan pemilu yang sangat amat mengkhawatirkan dan membahayakan NKRI," kata Siti Zuhro.
Siti Zuhro menyebut, bagian yang paling mengkhawatirkan adalah soal cawe-cawe penguasa yang ingin melanggengkan kekuasaan, sehingga berbagai cara pun dilakukan.
"Karena ada cawe cawe yang luar biasa dari penguasa. Melakukan intervensi politik ke semua stakeholder terkait pemilu. Mulai penyelenggara instansi penegak hukum, birokrasi sampai ke relawan," terangnya.
Dia tak memungkiri jika penguasa yang dimaksud bukanlah peserta pemilu 2024.
Namun, sosok penguasa tersebut memuluskan jalan salah satu paslon untuk meraup suara saat pesta demokrasi digelar.
"Penguasa memang bukan incumben yang sedang mencalonkan diri tapi justru cawe cawenya jauh luar biasa dari incumben ketika mencalonkan dirinya tahun 2019. Mengapa? Karena dalam konteks ini, nepotisme lebih memberikan peran yang luar biasa kepada penguasa untuk memenangkan anaknya sendiri," beber Siti Zuhro.
"Kata kuncinya sangat jelas yaitu maintaning power, atas nama lanjutkan kekuasaan yang ada, maka tidak bisa dirinya sendiri 3 periode, yang ada adalah anaknya pun harus jadi," tegas dia.
Demokrasi Sudah Keluar dari Jalurnya
Dalam kesempatan yang sama, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid menyampaikan pendapatnya soal kondisi kekinian demokrasi Indonesia.
Menurutnya, demokrasi dewasa ini justru sudah keluar jauh dari jalurnya lantaran berjalan tanpa mengindahkan etika.
"Bisa jadi demorkasi yang sering sampai pada telinga kita bukan demokrasi yang substantif, etika digadaikan, bahkan politik uang merajalela, politik dinasti kalau kita lihat dari berbagai juru yang lain menyampaikan juga secara terang-terangan ditampilkan dipertontonkan, mobilisasi sumber daya negara untuk kepentingan kelompok tertentu," kata Fathul.
"Jadi demorkasi yang ada bukan demokrasi yang substantif, ada yang menyebut sebagai demokrasi prosedural semuanya terlihat baik-baik saja di permukaan tetapi kenyataannya tidak demikian," sambungnya.
Melihat fenomena demokrasi di Indonesia saat ini, bagi Fathul, sama seperti istilah yang pernah disampaikan Profesor Bidang Ilmu Politik dari University Of London William Davis sebagai demokrasi perasa.
"Dalam demokrasi yang seperti ini perasaan sangat mendominasi keputusan. Dan kita khawatir bahwa perasaan publik Indonesia sedang dimainkan, dimanipulasi dengan beragam cara salah satunya dengan memutarbalikan fakta dan informasi di lapangan."
"Muncul kemudian otokrat-otokrat informasi yang menjadi penjaga gerbang yang itu ditujukan untuk kepentingan kelompok tertentu dan kepentingan jangka pendek yang lagi-lagi mengabaikan kepentingan bangsa indonesia untuk jangka yang sangat panjang," jelas dia.
Hakim MK Harus Menyelamatkan Demokrasi
Pemikir kebhinekaan Sukidi menitipkan harapan kepada hakim Mahkamah Konstitusi (MK) bisa menyematkan demokrasi di Indonesia dari kematian.
Dia menyebut, para hakim MK mengedepankan kenegarawanan dalam memutuskan perkara Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) untuk pilpres 2024.
"Yang Mulia hakim MK, saya sebagai Warga Negara Indonesia menitipkan suatu harapan biar seluruh hakim MK dijiwai spirit kenegarawanan untuk menyelamatkan konstitusi dan demokrasi dari kerusakan dan kepunahan," kata Sukidi.
Dia menyebut para hakim MK sebagai penjaga konstitusi, punya amanah mulia untuk menjaga peraturan negara dari kerusakan yang makin parah.
"Kerusakan konstitusi itu tercermin pada proses legitimasi nepotisme yang terjadi di MK itu sendiri, karena itu Yang Mulia saya mengajak kepada Yang Mulia untuk kembali ke jalan yang lurus, jalan siritolmustakim yang diridai Tuhan untuk menegakan kembali muruah MK untuk menegakan konstitusi yang memberikan asas kemanfaatan bagi seluruh rakyat Indonesia," paparnya.
Sukidi juga berharap para hakim MK dalam memutuskan hasil PHPU untuk pilpres 2024 bisa mengurai akar masalah secara komprehensif.
Menurut dia, akar masalah dalam pilpres 2024 sudah diuraikan oleh putri Proklamator RI Soekarno atau Bung Karno, Megawati Soekarnoputri, yakni penyalahgunaan kekuasaan oleh pemimpin negara.
"Akar masalah pilpres adalah apa yang disuarakan oleh putri Proklamator RI dan pendiri RI Megawati Soekarnoputri sebagai nepotisme dan dugaan penyalahgunaan kekuasaan oleh presiden. Inilah akar masalah utama yang disuarakan secara jernih oleh Bu Megawati. Nepotisme dan dugaan penyalahgunaan kekuasaan oleh presiden," ujarnya.
"Putusan MK nomor 90 tahun 2023 adalah praktik nepotisme yang melibatkan Ketua MK, Presiden dan putra mahkotanya," sambung Sukidi.
Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah itu melanjutkan praktik nepotisme oleh Jokowi sebenarnya melanggar TAP MPR Nomor 9 Tahun 1998, melanggar UU Nomor 28 Tahun 1999, dan TAP MPR Nomor 8 Tahun 2001 yang menuntut penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN.
"Atas dasar itu, presiden patut diduga kuat telah melanggar konstitusi, yaitu sumpah dan janji presiden untuk memegang teguh UUD dan menjalankan segala UU dan peraturannya dengan segala rules sesuai UU 1945 pasal 9. Pelanggaran atas sumpah dan janji presiden yang termaktub dalam konstitusi adalah bentuk pelanggaran konstitusional yang berimplikasi pada keharusan adanya proses pemakzulan presiden," kata Sukidi.
"Nepotisme itu bukan hanya pelanggaran terhadal kontutusi atau ketetapan MPR, tetapi juga pelanggaran terhadap sumpah presiden untuk selalu menjujung tingggi uu dan segala peraturannya," pungkasnya. (Tribun Network/Yuda)