Prabowo Bisa Pilih Sipil Profesional Jadi Kepala BIN, Tak Mesti Berlatar Belakang Militer
Posisi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang sangat vital dalam pemerintahan. Apakah Prabowo akan memilih Kepala BIN dari TNI atau Polri?
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dinamika pemberitaan media akan terpusat pada lika-liku koalisi dan pemilihan calon menteri kabinet Prabowo-Gibran setelah pemerintahan Jokowi berakhir.
Posisi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang sangat vital dalam pemerintahan menjadi sorotan pengamat terorisme dan intelijen Ridlwan Habib sekaligus Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden.
Sepanjang perjalanan BIN di Indonesia, hampir semua Kepala BIN berlatar belakang militer.
Baru dua orang jenderal polisi yang menjadi pucuk pimpinan tertinggi lembaga yang kantornya berpagar warna merah itu.
Pertama, Jenderal Polisi Sutanto yang menjabat di era Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY).
Kedua, Jenderal Polisi (Purn) Budi Gunawan yang kini masih menjabat sejak dipilih menggantikan Letjen TNI (Purn) Sutiyoso pada 2016 lalu.
“Perdebatan apakah Kepala BIN harus dari TNI atau Polisi merupakan perdebatan yang tak relevan. Sebab sejatinya, pemilihan Kepala BIN adalah hak prerogatif Presiden,” ujar Ridlwan dalam peluncuran buku Menyingkap Selubung Intelijen di kawasan Menteng, Jakarta (10/5/2024).
Baca juga: 4 Kader PAN yang Disodorkan Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran: Ada Waketum hingga Sekjen
Buku karangan Ridlwan berjudul Menyingkap Selubung Intelijen setebal 300 halaman berisi tentang seluk beluk dunia mata-mata.
Mulai dari cara perekrutan, gaji, karir, hingga pendidikan agen intelijen.
Menurut Ridlwan, seorang Kepala BIN bahkan bisa saja dipilih Presiden dari kalangan sipil profesional yang memahami tentang intelijen.
“Kepala BIN adalah kepanjangan dari mata dan telinga Presiden yang menjadi landasan mengambil pilihan sikap kebijakan,bukan soal latar belakang militer atau sipilnya tapi keahliannya,” ujar dia.
Baca juga: Golkar Dukung Wacana Penambahan Kementerian di Kabinet Prabowo: Ruang Gerak Presiden Jangan Dihambat
Dalam khasanah ilmu intelijen stratejik, dua pemikir intelijen di Amerika Serikat pernah memperdebatkan unsur kedekatan (proximity) antara kepala lembaga intelijen dengan Presiden sebagai pengguna (user).
Keduanya adalah guru besar CIA Sherman Kent dan mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat Robert Michael Gates.
Sebelum menjadi menteri pertahanan, Gates pernah juga menjabat sebagai direktur CIA periode 1991 -1993 di masa pemerintahan Presiden Bush senior.