Konsolidasi KIM untuk Pilkada 2024 Dinilai Berpotensi Munculkan Calon Tunggal di Berbagai Daerah
Menurut Titi, menguatnya hegemoni calon tunggal dalam Pilkada 2024 disebabkan sejumlah faktor di antaranya karena calon tunggal menjanjikan kemenangan
Penulis: Gita Irawan
Editor: Muhammad Zulfikar
Selain itu, kata dia, kondisi parpol yang belum sepenuhnya pulih dari sisi soliditas internal, keuangan, dan pemenangan pasca pemilu serentak 2024 (Pilpres dan Pileg) membuat partai lebih terdorong untuk pragmatis dalam bersikap.
"Dan lebih beroririentasi ya sudahlah kita bagi-bagi lapak saja daripada kemudian dia tambah berdarah-darah keluar uang dan dari sisi kerja kelembagaan," sambung dia.
Calon Tunggal Berbahaya
Fenomena calon tunggal dalam Pilkada dinilai berbahaya.
Anggota Komnas HAM RI periode 2017 sampai 2022 Amriuddin Al Rahab memangdang fenomena tersebut sebagai gejala otoritarianisme politik.
Menurut dia hak memilih bagi warga negara adalah hak asasi manusia sekaligus hak konstitusional warga negara yang dijamin konstitusi.
Baca juga: Dedi Mulyadi Didukung Golkar Maju Pilkada Jawa Barat, Bagaimana Elektabilitasnya?
Begitu partai parpol atau koalisi parpol mengajukan calon tunggal, menurutnya dapat dimaknai parpol-parpol itu mengabaikan sekaligus merampas hak warga negara dalam memilih dan dipilih.
Dengan melihat esensi tersebut, menurutnya calon tunggal tidak berguna dalam memperbaiki demokrasi di Indonesia.
"Esensi dari demokrasi adalah terjaminnya hak setiap warga negara memilih dan dipilih. Begitu itu diabaikan atau dirampas oleh orang-orang yang sedang memburu kekuasaan, dengan sendirinya demokrasi tinggal cangkangnya. Isinya sudah hilang. Inilah bahayanya dari calon tunggal ini," kata Amruddin.
Selain itu, menurut dia fenomena calon tunggal juga menunjukkan kegagalan partai politik dalam melakukan tanggung jawab politiknya sebagai tempat kepentingan banyak orang diagregat dan diartikulasikan.
Salah satu caranya, lanjut Amiruddin, dengan memunculkan tokoh yakni sosok yang dianggap mapu membawa gagasan parpol tersebut.
Begitu parpol tidak mampu menciptakan tokoh, menurutnya, maka dengan sendirinya parpol tidaklah ada.
Sebaliknya, kata Amiruddin, yang ada hanyalah sekumpulan orang atas nama parpol.
"Jika calon tunggal itu berkembang, sekarang gejalanya sudah muncul, beberapa partai sudah kumpul sana-kumpul sini untuk merancang calon tunggal ini, itu menandakan bahwa napas demokrasi kita akan semakin tercekik," katanya.
"Kita akan berhadapan dengan orang-orang yang meminpin daerah nanti dengan cara otoriter. Kenapa otoriter bisa terjadi? Karena dia menjadi orang satu-satunya di wilayah itu yang memiliki otoritas politik, karena tidak ada kompetitornya," lanjut Amiruddin.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.