Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pendukung Kotak Kosong di Pilkada 2024 Diusulkan Boleh Kampanye dan Difasilitasi KPU

Menurut Anggota KPU RI Periode 2017 sampai 2022 Evi Novilda Ginting, KPU bisa memfasilitasi pendukung kotak kosong.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Pendukung Kotak Kosong di Pilkada 2024 Diusulkan Boleh Kampanye dan Difasilitasi KPU
Tangkapan Layar
Anggota Dewan Pembina Perludem sekaligus Pengajar Hukum Pemilu Universitas Indonesia Titi Anggraini dalam diskusi daring bertajuk Menggugat Fenomena Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak Tahun 2024 yang digelar The Constitutional Democracy Initiative pada Minggu (4/8/2024). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jumlah calon tunggal dalam Pilkada Serentak 2024 diprediksi mengalami peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Prediksi tersebut di antaranya didasarkan pada data peningkatan signifikan calon tunggal peserta Pilkada sejak tahun 2015 sampai 2020.

Baca juga: Soal Wacana KIM Plus Pilkada DKI, Anies Tak Ambil Pusing, Ahok: Mereka Tak Berani Lawan Kotak Kosong

Anggota Dewan Pembina Perludem sekaligus Pengajar Hukum Pemilu Universitas Indonesia Titi Anggraini mengatakan sejak 2015 sampai 2020 tercatat terdapat 52 dari 53 Pilkada di berbagai daerah yang dimenangkan oleh calon tunggal.

Dengan demikian, dari data tersebut kemenangan calon tunggal melawan kotak kosong mencapai 98,11 persen.

Selain itu, lebih dari 80% dari total 52 calon tunggal yang memenangkan Pilkada sejak 2015 sampai 2020 tersebut adalah petahana.

Baca juga: Hasto PDIP Pastikan Pilgub Jakarta, Sumatera Utara dan Jawa Timur Tak Akan Ada Kotak Kosong

Untuk itu, menurutnya perlu ada terobosan yang perlu dilakukan KPU untuk menjamin hak pilih setiap warga negara dalam Pilkada serentak 2024.

BERITA TERKAIT

KPU, menurutnya bisa melakukan terobosan dengan merujuk pada apa yang telah dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK) saat menerbitkan Peraturan MK nomor 4 tahun 2015.

Dengan aturan tersebut, kata dia, MK telah memberikan legal standing kepada pemantau pemilu terakreditasi sebagai Pemohon (bila yang menang calon tunggal) atau Pihak Terkait (bila kotak kosong yang menang) apabila Pilkada berlangsung dalam kondisi calon tunggal melawan kotak kosong.

Mestinya, kata dia, terobosan MK itu bisa juga diikuti oleh KPU agar pendukung kotak kosong mendapatkan perlakuan yang adil sebagaimana yang didapatkan oleh pendukung calon tunggal.

Hal itu disampaikannya dalam diskusi daring bertajuk Menggugat Fenomena Calon Tunggal dalam Pilkada Serentak Tahun 2024 yang digelar The Constitutional Democracy Initiative pada Minggu (4/8/2024).

"Oleh karena itu, saya mengusulkan KPU bisa memberikan fasilitasi dan hak kepada pendukung kolom kosong untuk berkampanye di Pilkada. Jadi KPU juga harus fasilitasi. Kalau KPU fasilitasi calon tunggal untuk berkampanye, mestinya fasilitasi yang sama juga bisa terhadap kolom kosong," kata Titi.

"Karena ini kan dilakukan dengan misalnya alat peraga, iklan di media massa, cetak dan elektronik yang didesain, supaya KPU tidak dibilang partisan, serahkan saja kepada kelompok independen yang ditunjuk oleh KPU untuk mendesain materinya," sambung dia.

Baca juga: Ahok: Saya Jamin KIM Plus Kalah dan Dipermalukan Bila Lawan Kotak Kosong di Pilkada Jakarta


Perlu Diatur 

Melihat kondisi tersebut, menurut Anggota KPU RI Periode 2017 sampai 2022 Evi Novilda Ginting, KPU bisa memfasilitasi pendukung kotak kosong.

Namun, menurutnya apabila muncul kekhawatiran KPU tidak independen maka menurutnya ada cara yang bisa dilakukan untuk meredam kekhawatiran itu.

"Misalnya menyerahkan, atau bisa mengakreditasi lembaga-lembaga di daerah yang bisa melakukan dan difasilitasi melalui kampanyenya," kata dia.

"Ini tentu perlu diatur agar kemudian semua proses baik itu di pencalonan maupun di kampanye itu bisa berjalan dengan tertib. Dan semua pihak bisa saling menghormati," sambung dia.

Selain itu, menurutnya regulasi yang terkait dengan implikasi ketika kotak kosong memenangkan kontestasi juga tetap perlu dirumuskan.

Hal tersebut, kata dia, juga perlu dilakukan dalam rangka keadilan bagi  calon tunggal yang ikut kontestasi.

"Kita harapkan juga ini bisa mendapatkan perbaikan-perbaikan ke depannya," kata dia.

Baca juga: Ahok: Saya Jamin KIM Plus Kalah dan Dipermalukan Bila Lawan Kotak Kosong di Pilkada Jakarta


Bahaya Calon Tunggal

Anggota Komnas HAM RI periode 2017 sampai 2022 Amriuddin Al Rahab memangdang calon tunggal dalam Pilkada merupakan gejala otoritarianisme politik. 

Menurutnya hak memilih bagi warga negara adalah hak asasi manusia sekaligus hak konstitusional warga negara yang dijamin konstitusi.

Begitu partai politik (parpol) atau sekumpulan parpol mengajukan calon tunggal maka dapat dimaknai parpol-parpol itu mengabaikan sekaligus merampas hak warga negara dalam memilih dan dipilih.

Dengan melihat esensi tersebut, menurutnya calon tunggal tidak berguna dalam memperbaiki demokrasi di Indonesia.

"Esensi dari demokrasi adalah terjaminnya hak setiap warga negara memilih dan dipilih. Begitu itu diabaikan atau dirampas oleh orang-orang yang sedang memburu kekuasaan, dengan sendirinya demokrasi tinggal cangkangnya. Isinya sudah hilang. Inilah bahayanya dari calon tunggal ini," kata dia.

Selain itu, menurutnya calon tunggal juga menunjukkan kegagalan partai politik dalam melakukan tanggung jawab politiknya sebagai tempat kepentingan banyak orang diagregat dan diartikulasikan. 

Salah satu caranya, kata dia, dengan memunculkan tokoh yakni sosok yang dianggap mapu membawa gagasan parpol tersebut.

Baca juga: Khofifah hingga Bobby, Deretan Cagub yang Berpotensi Lawan Kotak Kosong di Pilkada 2024

Begitu parpol tidak mampu menciptakan tokoh, kata dia, maka dengan sendirinya parpol tidaklah ada. 

Sebaliknya, kata dia, yang ada hanyalah sekumpulan orang atas nama parpol.

"Jika calon tunggal itu berkembang, sekarang gejalanya sudah muncul, beberapa partai sudah kumpul sana-kumpul sini untuk merancang calon tunggal ini, itu menandakan bahwa napas demokrasi kita akan semakin tercekik," kata dia.

"Kita akan berhadapan dengan orang-orang yang meminpin daerah nanti dengan cara otoriter. Kenapa otoriter bisa terjadi? Karena dia menjadi orang satu-satunya di wilayah itu yang memiliki otoritas politik, karena tidak ada kompetitornya," sambung dia.

Selain itu, menurutnya calon tunggal adalah upaya politik yang tidak dilakukan aktor tunggal melainkan dilakukan banyak aktor.

Dalam ilmu politik, kata dia, kondisi itu disebut monopoli politik di wilayah lokal atau di suatu daerah baik itu provinsi, kabupaten atau kota oleh orang kuat lokal.

"Nah orang kuat lokal ini biasanya adalah pertahana dalam politik atau orang yang didukung oleh banyak kekuatan politik, untuk menjadi orang kuat di wilayah itu secara baru, untuk menyingkirkan kompetitornya yang lain," kata dia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Populer

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas