Simpulan Rangkaian FGD Soal Otda: Masyarakat Butuh Sistem Baru Rekrutmen Calon Kepala Daerah
Simmpulan dari rangkaian Focus Group Discussion bertema "Memperkuat Otonomi Daerah (Otda) Melalui Pilkada" bahwa masyarakat butuh sistem baru
Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
Editor: Wahyu Aji
Hasiolan EP/Tribunnews.com
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat membutuhkan sistem baru rekrutmen calon kepala daerah.
Demikian simpulan dari rangkaian Focus Group Discussion (FGD) bertema "Memperkuat Otonomi Daerah (Otda) Melalui Pilkada" yang tuntas berlangsung di sejumlah daerah.
Kegiatan yang diinisiasi kelompok masyarakat sipil Agenda 45 ini diikuti para peserta yang berlatar belakang akademisi, politisi, pegiat masyarakat, pengusaha dan, jurnalis menggelar rangkaian FGD di Medan, Batam, Pontianak, Jember, Mataram, Bima, Maumere, dan Palu.
Rangkaian kegiatan itu merupakan tindak lanjut dari FGD tingkat nasional yang berlangsung di Jakarta, 20 Juli silam dengan dua nara sumber utama Prof Mahfud MD dan ahli hukum tata negara Bivitri Susanti.
Untuk memperdalam atau mencari detail permasalahan dan ide ide dari para peserta yang amat memahami karakter dan persoalan daerah masing masing.
“Ada sambutan luar biasa pada kegiatan yang bertujuan untuk memperkenalkan cara berpikir baru dalam memilih calon pemimpin daerah itu,” ujar Direktur Agenda 45, Warsito Ellwein, dikutip Senin (19/8/2024) di Jakarta.
Menurut Warsito, Tim Agenda 45 mendapatkan wacana, ada kebutuhan untuk mencari cara baru dalam memilih pemimpin daerah.
"Hal itu terutama menyangkut prosedur pemilihan para calon untuk diajukan sebagai calon pasangan calon. Para peserta secara umum memang mengkritik cara rekruitmen oleh partai politik terutama dalam menghadapi pemilihan kepala daerah," katanya.
Menurut dia merujuk pada simpulan rangkaian FGD, para calon itu harus memenuhi syarat-syarat tertentu sebelum diperkenalkan untuk mendapat penilaian dari masyarakat.
Hal ini mencakup kapasitas, integritas, kompetensi sosial, akademik, dan masa pengabdian di wilayah di mana yang bersangkutan akan bertarung dalam Pilkada.
Calon-calon pasangan itu mesti menyusun visi dan misi serta memperkenalkannya agar masyarakat bisa menilai dan menguji.
Pada tahap tertentu sejumlah calon diajukan ke tingkat lebih tinggi sebelum akhirnya diajukan ke DPP partai politik untuk menentukan calon terpilih.
"Mekanisme itu diyakini akan dapat menghasilkan pemimpin terbaik sehingga mampu menjalankan otonomi daerah yang lebih baik. Bila semula di tingkat paling rendah ada 10 calon, hasil seleksi secara bertahap itu diserahkan ke DPP dengan jumlah calon yang lebih sedikit," papar Warsito.
Tradisi Berpikir Baru
Dia menambahkan, alam rangkaian FGD itu para peserta menyampaikan testimoni sejumlah kelemahan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Secara umum kelemahan itu adalah fakta kalau pemerintah pusat lebih banyak menerima manfaat.
Sedangkan warga di daerah-daerah lebih banyak menerima dampak negatif.
Di berbaga idaerah FGD itu mendapat dukungan para peserta.
Dr Jonas KGD Gobang, Rektor Universitas Nusa Nipa, Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) misalnya mengharapkan aktifitas berpikir seperti yang diperkenalkan Agenda 45 untuk dilanjutkan.
“Jangan hanya berhenti pada FGD hari ini saja, kita perlu terus menerus membuat kegiatan seperti ini,” katanya.
Dengan demikian, secara tak langsung masyarakat akan mendapatkan kebiasaan berpikir baru dalam memilih calon pemimpin yang mengerti persoalan masyarakat dan cara memecahkannya.
Dikatakan, Otonomi Daerah mesti berfungsi mewujudkan prinsip-prinsip inklusi, pemerataan, tidak merusak budaya, sumber daya alam, dan sumber daya.
Persoalan pembagian hasil sumber daya alam seperti tambang dan perkebunan mendapat banyak perhatian para peserta FGD.
“Isu nikel saban hari diperbincangkan di dalam negeri hingga ke internasional, dan dalam wujudnya itu ada di Morowali. Tahun 2023 nilai ekspor nikel sekitar 16,2 Milliar Dolar jika dibanding dengan APBD Sulawesi Tengah yang cuma sekitar 6 Triliun, itu tidak ada apa-apanya,” ujar pegiat masyarakat sipil, Arianto Sangaji saat memimpin FGD di Palu, Senin (12/8/2024).
Apa yang terjadi, setidaknya di wilayah Sulawesi Tengah, kata dia, adalah terjadinya desentralisasi politik namun ekonomi tidak.
Menurut Arianto penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) sejak tahun 2020 ditarik ke pusat.
“Sehingga, sebetulnya daerah ini tidak punya kekuatan dalam segi regulasi untuk mengelolah industri ini, padahal pencemarannya di sini gila-gilaan ada 5.000 mega watt Pembangkit Listrik tenaga Batu bara yang berujung pencemaran yang banyak dan meluas,” tambah dia.
Menurutnya, hak masyarakat hidup sehat pun terganggu operasi perusahaan tambang. Pemenuhan hak untuk sehat bagi warga yang terdampak itu terbukti berbelit di tingkat birokrasi.
Baca juga: Kasus Perdagangan Manusia di NTT masih Menjadi Permasalahan, Diperlukan Pembenahan Aparat
Keprihatinan atas kondisi juga dirasakan Lusia Salmawati, seorang pengajar bidang kesehatan masyarakat.
“Saya sangat excited membahas terkait situasi Sulteng saat ini, apalagi terkait pertambangan. Kita melihat di Kota Palu ujung perbatasan dengan Donggala itu ada tambang galian C yang menyebabkan banyak persoalan. Tidak terkecuali persoalan kesehatan,” ujarnya.
Dia pun merujuk pada data penderita ISPA di wilayah lingkar galian C.
Pada tahun 2022 ada 813 kasus, sedangkan tahun 2023 ada 2213 orang.
"Wilayah Sulawesi menjadi penopang pembangunan Ibu Kota Nusantara dengan memasok bahan kebutuhan infrastruktur berasal dari sana, namun tingkat kesehatan tapi tingkat masyarakat menjadi korban" kata Lusia.