Eksklusif Pramono Anung: Kelola Dapur Presiden Jokowi hingga Drama Kronologi Maju Pilkada Jakarta
Wawancara eksklusif bersama Tribunnews, Pramono Anung membeberkan kronologi dirinya maju dalam Pilkada Jakarta yang sebelumnya hanya urus dapur Jokowi
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Theresia Felisiani
(T): Andai anda terpilih, dalam seratus hari apa yang Anda akan prioritaskan?
(J): Saya termasuk melihat bahwa setiap gubernur itu punya legacy. Baik Pak Sutiyoso, Bang Foke, Mas Anies, Ahok, Pak Djarot, walaupun sebentar, termasuk Pj yang sekarang, semuanya punya legacy. Jadi semua hal yang baik yang sudah diwariskan oleh para pendahulu ini dilanjutkan.
Tetapi, yang paling prinsip yang akan kita lakukan adalah berdasarkan undang-undang tadi, membuat Jakarta menjadi kota global, tetapi dan perekonomian nasional, dan memberikan kemudahan kepada siapapun yang akan datang ke Jakarta. Tidak lagi, misalnya Jakarta ini hanya untuk orang yang punya pekerjaan di Jakarta, atau Jakarta hanya kepada orang-orang yang mampu. Siapapun menjadi tanggung jawab pemerintah. Dan itulah yang akan kami lakukan.
(T): Banyak orang masih teringat janji para pejabat yang dulu, misalkan ada rumah, orang Jakarta kan perlu rumah juga, DP 0%, menciptakan ruang hijau, termasuk bagaimana kemudian mengurus reklamasi di wilayah utara Jakarta. Menurut Anda gimana tuh?
(J): Ya, banyak program yang terlalu muluk-muluk, biasanya tidak bisa diimplementasikan. Saya lebih berpikir bahwa program itu adalah program yang bisa diimplementasikan, tidak perlu yang terlalu muluk-muluk.
Contohnya, sebagai Sekretaris Kabinet, hal yang berkaitan Jakarta ketika dibahas, itu sebenarnya sebelum rapat dimulai saya yang mempersiapkan. Ketika rapat sudah diputuskan, saya yang mengeksekusi kepada kepala lembaga termasuk kepada gubernur yang ada. Sehingga dengan begitu, saya punya pengetahuan terhadap Jakarta ini, mungkin lebih dari yang lain. Karena memang kami yang mempersiapkan, termasuk dalam hal pembahasan undang-undang yang kemudian diundangkan ini, draft awal, naskah akademik, dan sebagainya-sebagainya, kami sudah terlibat dari situ. Jadi bukan hal yang baru bagaimana tentang LRT, MRT, polusi udara, transportasi, sandang pangan papan, dan juga program-program sea wall yang dulu pernah disampaikan di utara itu, itu bukan hal yang baru.
(T): Jadi kalau di pom bensin Anda tidak mulai dari nol ya?
(J): Enggak, enggak. Makanya saya tadi katakan bahwa legacy yang sudah dibuat oleh gubernur sebelumnya, pasti saya lanjutkan.
Baca juga: Adian PDIP: Pramono Bukan Titipan Istana, Dia Titipan Rakyat!
(T): Anda sempat bertanya enggak sama Bu Mega, kenapa kok saya, bukan yang lain? Misalkan Pak Prasetyo Eddy atau apa, enggak ya?
(J): Bukan hanya bertanya, sempat nangis-nangis. Tetapi kan begini ya, kenapa kemudian PDIP bisa mencalonkan sendiri? Itu kan tidak pernah terbayangkan. Karena sebelumnya kalau tidak ada gugatan di MK, tidak ada putusan MK nomor 60, dan itu enggak mungkin. Tidak ada mahasiswa demo, tidak mungkin.
Sehingga dengan begini ya, ini bagian dari sejarah. Ini bagian dari bagaimana kontribusi yang diberikan oleh MK, dan juga para mahasiswa, para buruh, para petani, para nelayan, yang kemudian membuat, bisa mencalonkan.
Awalnya terus terang saja, saya yang ragu-ragu banget untuk maju. Karena memang sudah enggak ingin. Makanya kalau melihat medsos saya, isinya cuma cucu, naik sepeda, enggak pernah yang berkaitan dengan keinginan untuk jabatan apa-apa. Tetapi, saya ini fighter. Ketika sudah menjadi keputusan, pasti saya akan berjuang semati-matinya untuk bisa memujukkan itu.
(T): Sebagai politisi sekaligus pejabat negara, Anda pasti mengikuti perkembangan dinamika politik, mulai dari Pilpres sampai Pilkada. Kalau menurut pengetahuan Anda, apakah dinamika politik di luar itu nanti akan mengganggu atau menjadi fokus yang akan menjadi barrier Anda?
(J): Ya, satu, saya ini kan menjadi beruntung saya bisa berkomunikasi dengan semuanya. Termasuk dengan Pak Jokowi, dengan baik. Dengan Pak Prabowo, dengan baik. Dengan Pak SBY, dengan baik. Seluruh ketua umum partai. Karena memang seringkali saya ditugaskan oleh Ibu Mega. Dan selalu saya silent, nggak pernah ngomong dengan siapapun.
Bahwa dinamika politik yang begitu kencang di Pilpres maupun Pileg, menurut saya akan berbeda dengan Pilkada ini. Kenapa? Karena Pilkada ini, di dalam tubuh pemerintah sendiri, terutama polisi dan aparat penegak hukum, itu sudah capek.
Pilkada begitu banyak, 514 kota kabupaten, 37 provinsi, nggak gampang. Dan mereka harus bisa menjalankan ini dalam waktu yang tinggal 3 bulan. Kalau kemudian misalnya ada yang mencederai demokrasi kita, pasti ini juga dampaknya akan panjang. Apalagi pemerintahan yang sekarang tinggal 1,5 bulan lagi.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.