Jangan Sampai Karena Isu Impor Beras, Harga dari Petani Rusak kata Moeldoko
Pemerintah memutuskan untuk mengambil langkah impor demi mengamankan pasokan beras. Sebanyak 500 ribu ton beras akan segera didatangkan dari Thailand
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah memutuskan untuk mengambil langkah impor demi mengamankan pasokan beras.
Sebanyak 500 ribu ton beras akan segera didatangkan dari Thailand dan Vietnam pada akhir bulan ini.
Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita mengatakan, beras yang akan diimpor adalah beras kualitas khusus dengan harga medium. Jenis beras tersebut memiliki spesifikasi bulir patah di bawah lima persen.
Keputusan impor diambil karena saat ini tengah terjadi kelangkaan pasokan beras medium yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat kelas menengah ke bawah.
Adapun perusahaan yang ditunjuk untuk melakukan impor adalah Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).
Menanggapi hal ini, Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jenderal TNI (Purn) Moeldoko menilai, pemerintah harus berhati-hati dalam memutuskan impor. Jangan sampai berita keputusan impor ini membuat resah masyarakat dan petani. Sehingga harga gabah anjlok saat panen raya sebentar lagi.
"Ini yang perlu dipahami, berdasarkan grafik nasional, panen yang paling bagus adalah bulan Februari sampai April. Karena fotosintesisnya bagus, curah hujan juga bagus. Dan bulan Maret-April adalah peak panen. Jangan sampai karena isu impor harga dari petani rusak," ungkap Moeldoko, Jumat (12/1).
Menurut Moeldoko, impor beras bisa dilakukan jika produksi beras di dalam negeri memang mengalami kekurangan. Sedangkan saat ini, dia menilai produksi beras masih cukup. Apalagi, kata dia, selama ini para petani juga sedang berusaha keras menggiatkan peningkatan produksi padi.
"Jika impor beras hanya karena masalah harga beras yang naik di pasaran, maka yang harus diperbaiki adalah tata kelola distribusi beras. Apalagi, pada Februari mendatang akan mulai ada panen di sejumlah daerah. Saat panen, harga gabah dan beras akan turun lagi," tuturnya.
Moeldoko mengakui, grafik panen setelah bulan April hingga Agustus cenderung menurun. Oleh sebab itu, harus dilakukan upaya agar grafik panen ini tidak naik turun, melainkan selalu ada panen di setiap bulan.
"Jadi solusinya harus tiada hari tanpa panen. Harus selalu ada panen. Selain itu, perlu dibangun storage-storage di daerah-daerah untuk cadangan beras selain mengandalkan gudang milik Bulog," kata mantan Panglima TNI ini.
Untuk itu, Moledoko mengatakan, dibutuhkan kebijakan pangan nasional dalam menentukan impor beras ini. Artinya, urusan pangan bukan lagi soal produksi, dalam hal ini urusan Kementan, tetapi terintegrasi.
Dia mencontohkan, urusan pupuk dengan Kementerian Perindustrian, urusan irigasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Kementerian Perdagangan untuk mengendalikan impor.
"Selama ini Kementan mengatakan ketersediaan cukup, tetapi Kemendag mengatakan selalu kurang dan akhirnya impor. Harusnya semua lembaga terintegrasi dan data yang dikeluarkan akurat apakah diperlukan impor atau tidak," urainya.
Bila selama ini alasan impor adalah kekurangan stok, maka ke depan harus dicarikan solusinya. Bila rata-rata hasil panen di Indonesia adalah 5-6 ton per hektar, maka sudah saatnya pemerintah mewajibkan petani menggunakan varietas padi yang menghasilkan lebih besar, minimal 8-9 ton.
"Permasalahan hulu harus dibenahi agar tidak adalagi kegaduhan impor beras karena kekurangan stok. Produksi harus makin ditingkatkan. Bila selama ini petani menghasilkan 5-6 ton per hektar, maka harus diupayakan menghasilkan 8-9 ton per hektar. Dan HKTI sudah mengembangkan varietas padi ini," papar Moeldoko.