5 Fakta Sistem E-Budgeting: Dipakai Era Ahok, Dipuji KPK, Kini Hendak Diubah Anies
Inilah lima fakta soal sistem E-Budgeting. Dibuat pada era Gubernur Ahok, mendapat pujian dari KPK, kini akan diubah oleh Anies Baswedan.
Penulis: Sri Juliati
Editor: Miftah
Tujuannya agar publik bisa mengoreksi anggaran yang diusulkan Pemprov DKI Jakarta berdasarkan hasil musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang).
Ahok bercerita, dia pernah ribut dengan oknum DPRD DKI dan oknum SKPD lantaran sistem e budgeting.
"Gubernur DKI tuh sederhana, kamu berani pecat orang yang nyolong enggak. Tahun 2014 kan pada enggak mau ngisi (e-budgeting), saya pecatin semua."
"Tahun 2015 diisi, DPRD ngelawan, enggak mau tanda tangan. Itu kejadian yang mau impeachment saya itu," ujar Ahok, dikutip dari Kompas.com.
Ahok pun menekankan semua kebijakan di Pemprov DKI sangat tergantung pada kepala daerah yang memimpin.
Sistem e-budgeting hanya bisa berjalan dengan dukungan dari gubernurnya.
"Kalau kepala lurus, bawahnya enggak berani enggak lurus. Itu teorinya," ujar Ahok.
3. Ahok Temukan Usulan Anggaran Siluman
Saat menggunakan sistem e-budgeting, Ahok menemukan usulan anggaran siluman senilai Rp 12,1 triliun di rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah (RAPBD) versi DPRD.
Di dalamnya terdapat usulan anggaran pengadaan perangkat uninterruptible power supply (UPS) untuk kelurahan sebesar Rp 4,2 miliar tiap unitnya dan untuk dipasang di sekolah sebesar Rp 6 miliar tiap unitnya.
Sementara itu, Gubernur Djarot Saiful Hidayat menambahkan, sistem e-budgeting juga bisa mengeliminasi kebocoran anggaran dalam APBD.
Dia berharap tidak ada lagi kasus-kasus mark up anggaran atau anggaran siluman seperti yang dulu disebut Ahok.
"Bayangkan kasus UPS tidak akan bisa muncul. Proyek fiktif enggak akan bisa muncul," ujar Djarot.
Djarot mengatakan sistem ini semakin baik karena didukung dengan pola transaksi non-tunai atau cashless.