Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Perempuan punya Peran dalam Kemandirian Pangan

Pada banyak sektor pertanian dan perikanan, misalnya, perempuan menjadi tulang punggung agar kemandirian pangan terwujud

Editor: Yudie Thirzano
zoom-in Perempuan punya Peran dalam Kemandirian Pangan
SERAMBI INDONESIA/BUDI FATRIA
Penari menampilkan tarian Ranup Lampuan pada pembukaan Aceh Fair Exhibition 2011 di Lapangan Blangpadang, Banda Aceh, Minggu (8/5/2011). Pameran tersebut sebagai ajang promosi produksi lokal diantaranya bidang pertanian, perkebunan, kerajinan dan produk industri rumah tangga dari 23 kabupaten dan kota di Aceh 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perempuan punya peran penting menjaga kemandirian pangan. Mereka tidak hanya menjaga agar kebutuhan pangan terdistribusi sempurna tapi juga terproduksi dan mencukupi.

Meski pada banyak sektor pertanian dan perikanan, misalnya, perempuan menjadi tulang punggung agar kemandirian pangan terwujud, keberadaan mereka sering pula disepelekan. Tejo Wahyu Djatmiko, Koordinator Aliansi Desa Sejahtera menilai negara kurang menghargai peran perempuan di sektor pangan.

Hal ini disampaikan Tejo saat menjadi pembicara dalam diskusi Perempuan, Kemandirian Pangan, Pemilu dan Media, yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Selasa (18/2/2014) pagi.

"Dalam undang-undang yang mengatur tentang sektor pertanian dan perikanan, negara hanya mendifinisikan pelaku sektor pertanian dan perikanan adalah laki-laki," ujar Tejo dalam siaran pers yang diterima Tribunnews.

Padahal, kata Tejo, peran perempuan di sektor ini cukup besar, dari persiapan, menyediakan asupan, ikut mengolah produk dan memasarkan. “Negara tidak memberi perhatian cukup misalnya dengan meningkatkan kapasitas dan akses permodalan terhadap kredit agar ekonomi perempuan semakin berkembang,” katanya

Kondisi ini menjadi timpang karena pemerintah sebenarnya menetapkan pertanian termasuk perikanan –di luar pertambangan—sebagai tulang punggung perekonomian dalam program rencana pembangunan jangka panjang (RPJM) 20 tahun untuk mencegak krisis pangan. Tapi dalam program jangka menengah (RPJM) sejak 2005 dan 2014, pangan hanya menjadi prioritas nomor 5.

Tak heran jika Indonesia akhirnya menjadi negara pengimpor untuk komoditas yang sebenarnya bisa diproduksi di dalam negeri, seperti cabai, jagung, kedelai, beras dan bawang merah. Padahal komoditas ini sebenarnya bisa dipenuhi jika kebijakan politik hingga penganggaran mendukung sektor pertanian dan peran perempuan.

Berita Rekomendasi

Saat ini di daerah seperti di Wonogiri, Serdang Bedagai, Lembata-Nusa Tenggara Timur muncul beberapa komunitas di sektor pertanian dan perikanan yang dinisiasi perempuan. Tujuh perempuan dari tujuh kelompok yang didampingi Oxfam ini tidak hanya berhasil memberdayakan dirinya sendiri tapi juga perempuan di sekitar mereka di sektor pangan.

Seperti yang dilakukan Juminah, perempuan nelayan Serdang Bedagai. Ia memberdayakan perempuan nelayan sejak tahun 2005 dengan menanam mangrove yang saat ini mencapai 7 hektar lahan. Tidak hanya dengan mengolah mangrove menjadi produk olahan, dia dan komunitas  yang dibangun membangun ekowisata mangrove. “Hasilnya sangat membantu peningkatan pendapatan perempuan,” katanya.
“Untuk kemandirian perempuan yang penting akses dan distribusi produk pertanian,” kata Sukacim, Koordinator Forum Petani Perempuan Gunung Kidul.

Sependapat dengan hal itu, Cecilia Keizer, Country Director Oxfam Indonesia mengatakan  memberikan akses yang sama pada perempuan di sektor pertanian dapat meningkatkan produksi pertanian hingga 20-30 persen. “Itu berarti bisa mengurangi jumlah angka kemiskinan antara 100-150 juta jiwa,” katanya.

Calon legislatif dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Agustiani Tio Fridelina Sitorus yang hadir dalam diskusi ini mengatakan, gerakan perempuan di sektor pangan perlu mendapat dukungan regulasi yang jelas.

Sayangnya, saat ini, banyak produk UU yang tidak berpihak ke perempuan dan kemandirian pangan karena minimnya jumlah perempuan di parlemen yang dapat memperjuangkan isu ini. “Agar kebijakan berpihak pada perempuan, parlemen harus diisi 30 persen perempuan. Jumlah ini akan mempunyai kekuatan mempengaruhi kebijakan,” katanya. Sedangkan saat ini, faktanya jumlah perempuan di parlemen hanya sekitar 18 persen.

Sementara itu, Divisi Perempuan AJI Indonesia Catur Ratna Wulandari, mendorong agar media memberikan perhatian pada isu-isu kemandirian pangan dan peran perempuan di sektor pangan. Tidak hanya memberikan porsi besar pada isu yang sifatnya sensasional belaka seperti korupsi dan kriminalitas yang melibatkan perempuan. “Ada perlakuan yang tidak seimbang memposisikan perempuan sebagai sumber berita,” katanya.  

Karena itu perlu kerja sama antara berbagai elemen dari akar rumput, media dan parlemen agar isu perempuan mendapat perhatian besar.

Diskusi juga dihadiri Komisioner Komisi Nasional Perempuan sekaligus untuk memperingati Hari Perempuan Internasional.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas