Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

PPATK Telisik Transaksi Mencurigakan Hadi Poernomo

Penelusuran transaksi perbankan Hadi Poernomo tersebut terkait penyidikan kasus dugaan korupsi

Penulis: Abdul Qodir
zoom-in PPATK Telisik Transaksi Mencurigakan Hadi Poernomo
Ist
Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo dalam berbagai ekspresi. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengajukan analisa transaksi keuangan untuk mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Hadi Poernomo ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Penelusuran transaksi perbankan Hadi Poernomo tersebut terkait penyidikan kasus dugaan korupsi dalam penerimaan permohonan keberatan wajib pajak Bank BCA Tahun 1999 pada 2003-2004.

"Iya, sudah," kata Ketua KPK, Abraham Samad, melalui pesan singkat, Rabu (30/4/2014).

Sementara itu, Wakil Ketua PPATK, Agus Santoso menyatakan pihak masih terus melakukan analisa transaksi keuangan Hadi Poernomo itu. Namun, sejauh ini proses analisa belum selesai. "LHA (Laporan Hasil Analisa) HP belum selesai," kata Wakil Ketua PPATK, Agus Santoso, melalui pesan singkat.

Agus belum bersedia menjawab saat ditanya kurun waktu transaksi keuangan Hadi Poernomo yang tengah dianalisis oleh PPATK maupun hasil sementara analisis tersebut. "Info itu belum bisa di-share," ujar Agus.

Ia pun belum bisa memastikan kapan PPATK akan menyelesaikan analisis terhadap transaksi keuangan Hadi Poernomo mengingat kasus yang tengah diusut KPK tersebut terjadi pada 2003-2004 lalu.

"Ini kasusnya sudah 10 tahun lalu ya. Tentu, kami akan semaksimal mungkin saja untuk telusuri," kata dia.

Berita Rekomendasi

Diberitakan, pada Senin, 21 April 2014, KPK menetapkan Hadi Poernomo tersangka karena sewaktu menjadi Dirjen Pajak pada 2003-2004 diduga melakukan tindak pidana korupsi berupa penyalahgunaan wewenang dalam penerimaan keberatan Bank BCA Tahun 1999. Penetapan tersangka tersebut terjadi bertepat dengan hari ulang tahun Hadi Poernomo ke-67 dan baru beberapa jam menggelar acara perpisahan selaku Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Hadi, yakni dengan memerintahkan anak buahnya, Direktur PPh (Pajak Penghasilan), agar mengubah kesimpulan risalah kajian keberatan atas transaksi Non-Performing Loan (NPL) atau kredit macet Bank BCA sebesar Rp 5,7 triliun dari 'ditolak' menjadi 'diterima'. Akibatnya, uang setoran pajak Rp 375 miliar yang seharusnya masuk ke kas negara (Ditjen Pajak) tidak terjadi.

Dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke KPK per 9 Februari 2010, Hadi melaporkan memiliki harta tak bergerak berupa rumah dan tanah yang tersebar di 25 lokasi, di Los Angeles AS, Jabodetabek dan Tanggamus Lampung, dengan nilai total Rp 36.982.554.031 atau hampir Rp 37 miliar. Tanah terluasnya berada di Depok dengan luas 11.150 meter persegi dan 300 meter persegi senilai Rp 7,056.100.000 atau Rp 7 miliar.

Sejumlah pihak menilai janggal karena di LHKPN itu, Hadi mengaku sebagian besar rumah dan tanahnya itu, termasuk yang di Depok, diperoleh dari hasil pemberian atau hibah sejak 1985 sampai 2004 atau saat dia masih menjabat Dirjen Pajak. Dan sebagiannya lagi diperoleh dari hasil sendiri.

Masih dari LHKPN yang sama, Hadi juga memiliki harta bergerak berupa barang seni senilai Rp 1 miliar dari hibah pada 1979, logam mulia senilai Rp 100 juta dari hibah pada 1972, batu mulia senilai Rp 400 juta dari hasil hibah 1972 dan harta bergerak lainnya senilai Rp 25 juta juga dari hibah pada 1985. Ia juga melaporkan mempunyai harta giro dan setara kas senilai Rp 293.425.774.

Secara total, pria kelahiran kelahiran Pamekasan, 21 April 1947, yang mengawali karir sebagai Kepala Bidang Ekonomi di Dewan Analisis Strategis di Badan Intelejen Negara ini mempunyai harta kekayaan senilai Rp 38.800.979.805 atau Rp 38,8 miliar per 9 Februari 2010.

Kejanggalan lain juga tampak karena di dalam LHKPN-nya itu, Hadi selaku mantan pejabat negara yang biasa menghitung dan menarik upeti atau pajak dan menelisik anggaran proyek-proyek kementerian itu mengaku tidak mempunyai satu pun mobil sebagai harta bergeraknya. Selain itu, ia juga mengaku tidak mempunyai usaha pertambangan maupun surat berharga.

Dalam pelaporan LHKPN per 14 Juni 2006, Hadi mengaku memiliki harta dengan total Rp 26.061.814.000 dan 50 ribu Dolar AS. Jumlah ini pun meningkat sekitar 100 persen dibanding harta Hadi pada pelaporan LHKPN per 6 Juli 2001 yang hanya sebesar Rp 13.855.379.000 dan 50 ribu Dolar AS.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas