Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pengamat: Kasus The Jakarta Post Hasil Ketidakpedulian pada Pers

Buruknya kinerja polisi dalam menangani kasus pers terjadi akibat ketidakpedulian semua pihak memperjuangkan kebebasan pers

zoom-in Pengamat: Kasus The Jakarta Post Hasil Ketidakpedulian pada Pers
Kompas.com
Laman The Jakarta Post, Selasa (8/7/2014), memuat permintaan maaf atas pemuatan karikatur yang dinilai menyinggung umat Islam pada halaman 7 edisi Kamis (3/7/2014) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata, Algooth Putranto, menilai buruknya kinerja polisi dalam menangani kasus pers, terjadi akibat ketidakpedulian semua pihak dalam memperjuangkan kebebasan pers.

“Saya catat dalam dua kasus di tahun ini, yaitu Obor Rakyat dan The Jakarta Post, polisi sebagai aparat yang berhubungan langsung dengan masyarakat sipil, menetapkan dasar hukum dua kasus pemberitaan itu seperti orang bingung,” ujar Algooth kepada Tribunnews.com, Sabtu (13/12/2014).

Kebingungan tersebut tidak bisa dihindari, karena setelah UU Pers yang bersifat lex specialis diteken tahun 1999 sampai sekarang, belum ada Peraturan Pemerintah yang menjadi petunjuk pelaksanaan UU, sehingga sengketa pemberitaan selalu menimbulkan debat kusir.

“Kerap kali dengan alasan praktis, polisi dalam penyelesaian sengketa pemberitaan selalu berdasarkan hukum positif yang ada yaitu KUHP, dan menomorduakan UU Pers yang diteken Presiden Gus Dur untuk melindungi kerja jurnalistik,” paparnya.

Memang benar, lanjutnya, dua tahun ada Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani oleh Kapolri dan Dewan Pers, disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhono (SBY), terkait laporan pidana produk jurnalistik, pada acara Hari Pers Nasional di Jambi. Dalam MoU tersebut jelas disebutkan bahwa bila ada dugaan terjadi tindak pidana yang berkaitan dengan pemberitaan pers, maka penyelesaiannya harus mendahulukan UU Pers, sebelum menerapkan peraturan perundang-undangan lain.

Kemudian terdapat pula pasal yang menyebutkan bila Polri menerima laporan dan atau pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan pemberitaan pers, maka dalam proses penyelidikan dan penyidikannya polisi harus berkonsultasi dengan Dewan Pers

Tidak heran dalam kasus Obor Rakyat yang oleh Dewan Pers disebut sebagai bukan produk pers, polisi justru menjerat dengan UU Pers, yang kemudian karena diprotes, lalu dijanjikan jerat lain. Sementara dalam kasus karikatur Jakarta Post yang secara jelas adalah produk pers, justru jerat yang langsung digunakan adalah pasal pidana.

Berita Rekomendasi

Menurut Algooth, sikap polisi yang kebingungan dalam sengketa pemberitaan itu mungkin terlihat konyol. Namun jika ditelaah lebih jauh, dalam hukum positif status MoU pada dasarnya merupakan perjanjian pendahuluan, yang mengatur dan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengadakan studi kelayakan terlebih dahulu, sebelum membuat perjanjian yang lebih terperinci dan mengikat para pihak pada nantinya.

“Hukum Perdata jelas memasukkan MoU itu pendahuluan perikatan. Isi MoU hanya memuat hal-hal yang paling penting, bersifat sementara. Tidak ada kewajiban yang memaksa untuk dibuatnya kontrak atau perjanjian terperinci. Ini yang kita sepertinya terlena berpikir adanya MoU itu sudah menjadi dasar kuat,” ujar Algooth.

Payahnya, lanjutnya, sampai sekarang Dewan Pers yang dibiayai pemerintah dari pos Kominfo, tidak pernah secara jelas memiliki rekam kinerja dalam menindaklanjuti MoU tersebut. Pada sisi lain, DPR dan Pemerintah juga segan bertanya pada Dewan Pers.

“Asosiasi jurnalis seperti PWI dan AJI, hingga perguruan tinggi, termasuk saya pun selalu lupa menagih tindak lanjut MoU tersebut. Kasus The Jakarta Post dan Obor Rakyat adalah hasil ketidakpedulian kita semua memperjuangkan kemerdekaan pers,” tegasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas