Ikatan Sarjana Katolik Indonesia Tolak Hukuman Mati Pada Kasus Apapun
UUD 1945 pasal 28A yang menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) menolak pemberlakuan hukuman mati dalam kasus apapun termasuk kasus narkoba dan terorisme.
Ada dua dasar yang digunakan dalam penolakan pemberlakukan hukuman mati yakni yang pertama dari sudut HAM, bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights) serta setiap orang berhak atas hidupnya (Hak Asasi Manusia) serta yang kedua, UUD 1945 pasal 28A yang menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Penolakan itu diungkapkan oleh Tim Advokat Tolak Hukuman Mati (TATHM) yang antara lain terdiri dari Paskal Da Cunha SH, Hermawi Taslim SH, Sandra Nangoi SH, DR Liona Nanang Supriatna SH dan Beny Sabdo SH dalam keterangan pers yang diterima Tribunnews.com di Jakarta, Minggu (18/1/2015).
Dijelaskan oleh Paskal bahwa kalau melihat dampak dari tindak pidananya, hukuman mati bisa saja diberikan kepada pelaku tindak pidana narkoba, teroris, korupsi dll.
Namun sesuai dengan nilai yang ada dalam HAM dan UUD 1945, hukuman mati sebaiknya ditiadakan sekalipun dampak dari tindak pidananya sama “jahatnya” dengan hukuman mati itu sendiri. Bahkan dengan hukuman mati itu sendiri, Indonesia telah melanggar HAM yang telah ditandatangani oleh negara ini.
“Kami mengecam keras hukuman mati yang akan dilaksanakan. Tak satupun orang di dunia ini memiliki hak untuk mengambil hidup orang lain. Hukuman mati itu seharusnya tidak perlu dijatuhkan kepada seseorang jika aparat penegak hukum mampu membangun kepercayaan publik atas semua peraturan yang ada. Harus ada alternatif hukuman lain untuk menggantikan hukuman mati tersebut. Selama pengadilan di Indonesia belum dapat berdiri secara netral dan mendapat kepercayaan dari masyarakat atas keputusan yang diberikan, hukuman mati harus ditolak,” ujar Paskal Da Cunha.
Menurut ISKA, selama proses pengadilan yang dimulai dari penyelidikan, penangkapan, penahanan dan penyidikan untuk para pengguna narkonba, sebagai contoh, para penyidik hanya menggunakan standar biasa sebagaimana para tersangka pidana biasa.
“Masyarakat tahu bahwa, yagg namanya narkoba bukanlah tindak pidana biasa karena dalam UU Narkoba, dikenal hukuman mati. Sehingga, seharusnyanya proses hukum acaranya mulai dari penyidikan di kepolisian , kejaksaan, pengadilan negri bahkan sampai di tahapan Mahkamah Agung harus menggunakan prinsip kehati-hatian yang sangat tinggi dlm penerapan hukumnya. Pertimbangannya, dalam praktik proses hukum acara untuk para narkobais sering terjadi praktik KKN dan kolusi antara pelaku dan petugas di lapangan,“ tegas Paskal.
Menurut pandangan ISKA, selama aparat hukum bekerja berdasarkan pada target atau proyek, belum dapat dipercayanya aparat hukum dalam menangani kasus per kasus serta terbukanya penafsiran ganda atas sebuah aturan terhadap tindak pidana yang dimaksud, hukuman mati tidak bisa diterima. Oleh karena itu diperlukan alternatif hukuman yang diberikan.
“Alternatif hukuman maksimum itu bisa apa saja termasuk kerja paksa, jika dimungkinkan. Hukuman di Indonesia harus bebas dari hukuman mati tetapi tidak boleh mengenyampingkan akibat atau kerugian material ataupun moral yang timbul dalam masyarakat. Hanya saja, semua dengan catatan bahwa penegak hukum kita memang bersih dari praktik kerja kolusi,” tegas Paskal Da Cunha.