Kisah Penerbang TNI AD Saat Operasi Mapenduma yang Jarang Diketahui Publik
delapan heli terbang dalam formasi trail dengan teknik Mobud (mobile udara) dan dikawal gunship BO-105. Tujuan mereka sama: Memburu kelompok OPM
Editor: Malvyandie Haryadi
Tidak mau mengambil risiko, Prabowo pun meminta bantuan geolog asal Bandung yang juga dikenal di kalangan penempuh rimba, yaitu Tedy Sutadi Kardin.
Dedengkot Wanadri ini dijadikan analis khusus untuk memberikan gambaran kondisi medan dan membuatkan semacam peta operasi. Walaupun Penerbad sudah memiliki alat navigasi berbasis satelit GPS, namun karena masih dinilai “barang aneh”, penggunaannya belum maksimal.
Umumnya penerbang belum terbiasa mengoperasikannya sehingga harus belajar terlebih dahulu.
Pada bulan April di saat Satgas Pembebasan Sandera tengah memantapkan koordinasi lewat latihan, di sebuah tempat lain di Irian Jaya yaitu perbukitan di wilayah Alama, 45 menit penerbangan menggunakan heli dari Timika, sebuah Pos TNI AD dari Yonif 753 mendapat serangan dari orang tidak dikenal.
Dua personel ditembak hingga gugur, dan senjatanya dirampas. Laporan ini sampai ke Timika, disusul turunnya perintah operasi.
Sebuah Bell-412 yang diterbangkan Kapten Catur dan Lettu Ginting, diberangkatkan ke lokasi. Sejak lepas landas dari Timika, kedua penerbang ini sudah ekstra hati-hati karena dilaporkan bahwa senjata kedua personel tersebut dirampas.
Mereka hanya diperintahkan untuk mengevakuasi korban, sehingga tidak membawa pasukan.
Betul saja. Mendekati daerah kejadian, heli mendapat tembakan dari bawah sehingga menimbulkan kerusakan di beberapa bagian termasuk tangki bahan bakar. Tentu saja kondisi ini langsung mempengaruhi performa heli. Kapten Catur langsung memutuskan mencari lapangan terbang terdekat, hingga akhirnya mendarat darurat di Alama.
Laporan pendaratan darurat heli ini yang diterima posko di Timika segera menimbulkan kegelisahan.
Pasalnya heli ini tidak membawa pasukan bersenjata, sehingga sangat rentan jika mendapat serangan. Karena itulah, dari Timika segera diberangkatkan empat heli yang membawa Satgas Rajawali.
Jenazah berhasil diselamatkan, namun karena hari sudah sore, maka diputuskan evakuasi dilaksanakan esok paginya dengan tujuan Timika. Misi tambahan ini seperti ajang pemanasan bagi Penerbad dan pasukan yang akan melakukan pembebasan sandera.
Pemulangan jenazah prajurit Yonif 753 akan dilaksanakan dari Bandara Timika. Kesibukan sudah mulai terlihat sejak subuh itu, 15 April 1996.
Di antara petugas yang mengurus pemulangan jenazah ini adalah Letda Inf Sanurip, seorang perwira Kopassus dari Grup 1. Dikisahkan pada saat itu Sanurip tengah membicarakan sesuatu dengan Letkol Inf Adel Gustinigo, Komandan Den-81.
Entah apa yang terjadi, tak lama kemudian terdengar suara tembakan berkali-kali dari senapan laras panjang. Semua yang bergerak mendapat tembakan, termasuk seorang bule yang ingin melihat kejadian itu.
Si penembak kemudian diketahui adalah Letnan Sanurip. Setelah semua reda, mereka menemukan Letkol Adel terkapar dengan kepala bersimbah darah.
Dari penelusuran di sejumlah situs web, diketahui Letda Sanurip menembak mati 16 orang, termasuk di antaranya tiga perwira Kopassus, delapan pasukan Kostrad dan lima warga sipil, salah satunya pilot Airfast Michael Findlay dari Selandia Baru, dan melukai 11 lainnya.
Prajurit yang berada di sekitar lokasi kejadian berusaha menghentikan aksi Sanurip dengan menembak kakinya lalu melumpuhkannya. Banyak versi yang mengatakan kenapa Sanurip kalap.
Di antaranya karena malaria, stres, dan masalah pribadi. Tanggal 23 April 1997, Letda Sanurip dihukum mati.
Situasi memang berubah chaos dan mengguncang emosi seluruh pasukan yang terlibat. Padahal operasi belum dilaksanakan, mereka sudah harus kehilangan sejumlah sejawat karena kondisi mental dari salah seorang anggota yang tidak stabil.
Memasuki bulan ketiga penyanderaan, keadaan memang menjadi semakin genting. Ada unsur ketidaksabaran, namun masih ada harapan untuk menyelesaikannya tanpa sebutir pun peluru.
Harapan itu terus dipegang segenap pimpinan ABRI dan Pemerntahan, demi menjaga nama baik Bangsa di mata dunia internasional. Namun di sisi lain, tindakan konyol para penyandera ini tetap harus diberi ganjaran karena telah menentang keberadaan Negara Republik Indonesia.
Sementara waktu berjalan, latihan terus dilaksanakan dengan sudah menerapkan taktik dan strategi yang akan digunakan pada Jam “J”. Perlengkapan pun begitu, seperti yang nanti akan digunakan saat raid.
Laporan terakhir yang diterima posko Satgas, kelompok penyandera telah membawa sandera ke arah Desa Mapnduma di Kecamatan Tiom, Jayawijaya. Guna mendekatkan Satgas ke posisi sandera di Mapnduma, Satgas pun memutuskan untuk menggeser posko ke daerah terdekat yaitu Kenyam, sebuah kampung kecil di pinggir hutan, 15 menit naik helikopter dari Mapnduma dan 1 jam 5 menit dari Timika.
Kampung kedua adalah Akimuga, yang masih bertetangga dengan Timika. Di kedua DP (daerah persiapan) ini Satgas menempatkan heli dan pasukan, serta mulai mendorong logistik utamanya BBM untuk keperluan refueling.
Sampai sebuah laporan memastikan bahwa sandera telah dipindahkan ke Geselama, yang masih di wilayah Tiom. Geselama adalah sebuah daerah pengunungan yang bersebelahan dengan Mapnduma.
Penantian pun dimulai di Kenyam, yang hanya 20 menitan ke Geselama. Di sini tidak ada lagi latihan seperti yang dilakukan di Timika. Masing-masing elemen Satgas bersiap di tempat masing-masing dengan status scramble.
Memasuki pekan kedua Mei 1996, ICRC angkat tangan dari kegiatan mediasi antara Satgas dan kelompok OPM.
Sementara di Jakarta, ABRI menyatakan bahwa setelah empat bulan ditempuh upaya persuasif tidak membawa hasil, pihak ABRI telah memutuskan untuk membebaskan sandera dengan operasi militer.
Suatu siang di bawah rindangnya pohon di Kenyam, Brigjen Prabowo memimpin briefing bersama beberapa perwira dan komandan regu. Layaknya sebuah briefing operasi, Prabowo membeberkan situasi terkini berdasarkan data intelijen yang berhasil dikumpulkan.
Prabowo juga menekankan tindakan yang akan diambil terhadap kelompok pembangkang ini. Saat itu disampaikan bahwa posisi penyandera berada di sebuah tebing dengan tempat persembunyian berupa tenda-tenda darurat. Target ini akan menjadi sasaran heli serang.
Sejenak kemudian, Prabowo terlihat menelepon seseorang, sepertinya petinggi ABRI di Jakarta atau mungkin Panglima ABRI. “Siap,….. siap, nanti kami akan menelepon Bapak.” Kira-kira begitu sedikit kutipan pembicaraan Prabowo melalui telepon. Entah siapa yang dimaksud. Kemudian Prabowo menelepon lagi, dan sepertinya menerima restu untuk melaksanakan operasi militer.
Pagi itu 9 Mei 1996, tim negosiator ICRC yang meminta izin Prabowo untuk kembali menemui kelompok Kwalik di Geselama, akhirnya kembali selepas siang dengan tangan hampa. Mereka pun menyerahkan sepenuhnya ke ABRI untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu.
Maka siang itu, lampu merah pun menyala di Kenyam. Perintah operasi turun dan pasukan penyerang segera bersiap, merapat ke heli masing-masing sesuai pembagian kelompok.
Delapan heli gabungan Bell-205 dan Bell-412 lepas landas dengan dikawal satu heli serang BO-105 yang dilengkapi roket FFAR (Fin Folding Aerial Rocket) kaliber 2,75 inci .
Satu heli lagi berlakon sebagai heli komando, yaitu Bell-412 yang diterbangkan oleh Kapten CPN Aris Supangkat. Setiap heli serbu membawa 10 pasukan bersenjata. Beberapa personel terlihat membawa granat kejut (flashbang). Untuk kepentingan taktis, BO-105 berada di posisi tengah namun lebih tinggi supaya bisa mengamati posisi di depan.
Heli serang ini diterbangkan oleh Lettu CPN Wahyu Djatmiko dengan Kapten CPN Agus Siswanto. Meski Agus sudah kapten namun karena baru konversi dari heli Allouette, pilot in command diserahkan kepada Wahyu yang memang sudah terlatih menembak dari BO-105.
“PiC di tangan saya karena beliau baru konversi dari Alloutte jadi tidak yakin bisa nembak. Jadi arm on yang klik itu saya,” ujar Letkol Wahyu Djatmiko yang saat ditemui pada tahun 2013 menjabat Komandan Skadron 31 Penerbad di Semarang.
Eselon pertama delapan heli terbang dalam formasi trail dengan teknik Mobud (mobile udara) dan dikawal gunship BO-105. Mereka terbang cukup rendah sambil menyusuri lembah dan anak sungai.
Tujuan mereka adalah Geselama. Penerbangan terasa begitu sunyi karena memang diperintahkan untuk silent. Wajah para pilot beserta kru dan pasukan penyerang terlihat menegang, meski berusaha untuk rileks.
Sesuai skenario yang diujikan dalam latihan, heli serang akan melambung ke kiri sambil menambah ketinggian sesaat sebelum mencapai sasaran. Dengan manuver tinggi untuk mengambil posisi, Lettu Wahyu menukikkan hidung helinya searah dengan sebuah tebing.Wussss… wussss… dua roket melesat menggempur tebing.
“Saya tidak sembarangan nembak, sudah ditentukan titiknya. Sudah ada GPS namun belum seperti sekarang sehingga kami pakai peta dan hitung sendiri,” beber Letkol Wahyu. Menurut Wahyu, ia melakukan rocketing dalam tiga run.
Penembakkan tebing ini dilakukan sebenarnya bukan bermaksud untuk membunuh para penyandera, tapi menutup jalur pelarian yang mungkin mereka lakukan. Tembakan ini diharapkan akan mengagetkan dan membuat mereka tidak berusaha lari.
“Roket saya tembakin sampai habis sebanyak 24 dalam 3 run. Sekali tembak dua roket. Terus muter lagi. Ketinggian diatur di 500 kaki. Bell di bawah, saya di atasnya, di atas saya heli Kodal, di atasnya lagi heli cadangan. Usai nembak saya muter dulu, begitu mulai ada yang kembali (ke Kenyam) baru saya ikut formasi lagi,” tutur Wahyu.
Seperti sudah dilatihkan berulang-ulang, sedetik setelah penembakan, formasi delapan heli serbu segera mendaratkan pasukan penyerang dari Kopassus. Tidak mudah mendaratkan seluruh pasukan karena banyaknya heli yang harus mengambil posisi.
Apalagi medan yang akan didarati berkontur miring, sehingga akan makin menyulitkan bagi heli yang berada di urutan belakang. Beberapa kali terdengar ledakan keras dari flashbang, yang menurut Eko, cukup mengagetkan karena memang belum pernah mendengar sebelumnya sehingga tidak menyangka suaranya yang cukup keras.
Di sinilah petaka itu bermula. Heli keenam yang berada persis di sebelah kanan Lettu Eko, kesulitan menjaga posisinya. Heli ini terjebak di kemiringan sehingga sepertinya terkena turbulensi yang membuat pilot kesulitan mengendalikan heli.
Mungkin saja pada saatapproach, rate of descend heli ini terlalu tinggi dan kondisi tail wind, sehingga heli masuk ke dalam turbulensi yang disebabkan oleh putaran main rotor blade. Heli naas yang diterbangkan Lettu CPN Agus Riyanto dan Lettu CPN Tukiman itu pun semakin turun dan terus turun sampai akhirnya terjerembab ke bawah.
Ekornya menghantam pohon dan terbalik. Namun karena misi belum selesai, kecelakaan ini tidak menghentikan jalannya operasi.
Eko yang berada persis di samping heli naas itu, sempat melihat heli rekannya jatuh dan kemudian terbakar. Situasi emerjensi ini membuatnya membatalkan pendaratan.
Heli Tango 5 dibawanya kembali terbang, kemudian berputar untuk melihat crash site dan baru masuk ke titik pendaratan. Sekali lagi situasinya tidak memungkinkannya untuk mendaratkan heli atau menurunkan pasukan dengan tali. Sehingga pasukan harus dipaksa melompat dari heli. Cukup tinggi, seingat Eko, untung saja tidak ada yang cedera.
Selepas itu kesemua heli kembali ke Kenyam untuk mengambil pasukan sorti kedua. Saat itu mereka sempat melihat heli Airfast berputar-putar di atas lokasi jatuhnya Tango 6.
“Helinya kebakar habis, mas,” ujar sang pilot melaporkan pantauan visualnya. Tangan pun serasa tak kuat lagi mengangkat collective pitch dan cyclic pitch yang berfungsi sebagai pengatur gaya angkat dan pendorong heli untuk melaju ke depan. Tapi demi misi, mereka berusaha mengacuhkannya sesaat.
Pasukan tambahan diturunkan dengan tali. Karena ternyata kelompok Kwalik yang dicari tidak ada di lokasi yang diburu, heli pun mendarat karena dinilai sudah aman.
Kondisi ini sangat mengecewakan bagi segenap pelaku dan Prabowo sendiri, karena awalnya data posisi mereka sudah sangat akurat sehingga Prabowo berani memutuskan untuk melakukan aksi. Apakah ada kebocoran informasi?
Hari pun sudah mulai sore, sehingga akhirnya misi pengejaran dibatalkan. Pasukan yang sudah di lokasi memutuskan untuk bermalam di situ sambil menjaga reruntuhan pesawat dan mengevakuasi korban. Sementara heli kembali ke Kenyam.
Dari laporan Kapten Inf Made Agra dari Kopassus, lima orang dinyatakan gugur dalam kecelakaan itu. Yaitu pilot Lettu Agus Riyanto, Serka Suparlan (teknisi), Lettu Inf Umar dan dua bintara dari Kopassus.
Malam itu mereka lalui dalam kesedihan sambil memanjatkan doa kepada Tuhan untuk mereka yang gugur. “Malam itu cukup hening karena operasi pembebasan sandera tidak berhasil, tempat yang dicari sudah kosong, malah kami kehilangan teman dan heli crash. Kami bersedih sambil menyusun rencana besoknya,” kata Eko.
Tidak mau menyesali apa yang sudah terjadi, besoknya pagi-pagi sekali operasi kembali dilakukan. Satgas akan membuat pagar betis dan menutup jalur-jalur yang kemungkinan menjadi akses pelarian bagi OPM.
Karenanya, hari itu, menjelang pertengahan Mei, heli-heli Penerbad akan melaksanakan operasi yang cukup sulit, yaitu menurunkan pasukan di ketinggian di atas 6.000 kaki.
Satu regu akan melanjutkan evakuasi dibantu tim dari Airfast, sementara yang lain yaitu gabungan Kopassus dan Satgas Rajawali akan melanjutkan pengejaran. Operasi di ketinggian ini berjalan sekitar beberapa hari.
Pengalaman cukup menegangkan bagi segenap kru adalah saat menurunkan pasukan di ketinggian gunung dengan daerah pendaratan apa adanya.
Mereka harus mencari-cari medan paling aman di antara tebing-tebing yang menciutkan nyali itu. Ini bukan latihan, sehingga tidak ada waktu untuk yang tidak profesional. Meski tidak menguasai medan sepenuhnya, beberapa heli yang ditugaskan menurunkan pasukan di pegunungan itu berhasil melaksanakan tugasnya.
Karena beratnya medan yang akan ditutup, heli kemudian diperintahkan mengirimkan pasukan tambahan dari Rajawali yang sudah disiapkan.
Pasukan-pasukan inilah yang menjepit posisi kelompok Kwalik dari berbagai arah sehingga terkonsentrasi di sebuah tempat. Menurut analisa pasca kejadian, Kwalik dan kawan-kawan beserta para sandera sepertinya berusaha menghindari pasukan dari ketinggian yaitu Kopassus dan Rajawali, sehingga memilih maju ke depan.
Di situlah mereka berpapasan dengan tim dari Yonif 330 yang dipimpin Kapten Inf Agus Rohman, yang baru saja sehari dikirim dengan heli sebagai pasukan penutup. Hari itu, 15 Mei 1996, pasukan pemburu berhasil menyelamatkan sembilan sandera.
Kaget karena bertemu pasukan pemburu Kostrad, sebagian gerombolan memilih kabur termasuk Kwalik sendiri. Namun beberapa orang meregang diterjang timah panas sebelum sempat menghilang.
Malang bagi dua sandera. Mereka dibacok oleh beberapa anggota OPM. Keduanya, Navy Panekenan dan Yosias Mathias Lasamahu, keduanya warga negara Indonesia, meninggal kemudian dan ditemukan esok harinya. Berita ini langsung diterima Prabowo yang menunggu di Kenyam.
Sandera yang selamat kemudian diterbangkan ke Kenyam dan disambut langsung oleh Prabowo. Demikian pula pasukan penyerang yang berusaha turun ke dataran rendah, dijempat heli belakangan.
Esok harinya, Kamis 16 Mei, para sandera sudah diterbangkan ke Jakarta dengan pesawat Hercules dan mendarat di Lanud Halim Perdanakusuma. Rombongan disambut oleh Kasum ABRI Letjen Soeyono.
Bagi Eko, hari-hari itu sungguh melelahkan, menguras tidak hanya tenaganya tapi juga mentalnya. Di antara ke delapan heli serbu yang dilibatkan, hanya Tango 5 yang single captain. Ia hanya berdua dengan kopilot yang kebetulan teman satu angkatan.
Sementara heli yang lain diterbangkan oleh double captain atau setidaknya captain supervisi. Akibatnya selama penerbangan, karena ini adalah misi yang berat dan berbahaya, Eko tidak berani berbagi tanggung jawab dengan kopilotnya. Meski kopilot tetap membantu, tetap saja kendali di tangan Eko.
Kelelahan yang dialami Eko mencapai puncaknya setelah pada hari kedua usai melaksanakan sorti ketiga, ia merasa tidak sanggup lagi melaksanakan misi selanjutnya.
“Saya putuskan menghentikan dan bilang ke kopilot. Saya merasa sudah tidak mampu, karena semua full di tangan saya sebagai PiC. Saya bilang ke dia, saya tidak sanggup lagi dan memutuskan ke DP di Akimuga. Terus terang saya takut. Saya bilang ke mekanik, kita trouble,” tutur Eko yang mengalami combat fatigue.
“Nggak apa-apa kok,” mekanik menyela. “Kamu turun dan lihat ke bawah heli, ada kebocoran nggak. Ada atau tidak ada kau bilang ada kebocoran,” perintah Eko kepada mekaniknya. Eko pun memutuskan terbang ke Akimuga, pangkalan aju kedua selain Kenyam.
Di Akimuga ternyata ada Kapten CPN Burhanudin. Tango 5 refuel. “Bang heli saya transmisinya bocor, jadi saya mau bawa ke Timika,” ucap Eko kepada Burhanudin.
“Loh transmisi bocor malah kau bawa ke Timika, biar aja di sini,” balas Burhanudin yang karena sama-sama penerbang jadi mengerti kondisinya. Tapi Eko berusaha ngotot, bahwa helinya masih mampu diterbangkan ke Timika. “Ya sudah hati-hati, sebelum kau sampai saya tidak akan terbang,” ujar seniornya ini.
Saat itu di Timika bertepatan proses evakuasi korban heli Tango 6 ke Jakarta. Eko mengaku masih melihat kopilot Tango 6, Lettu Tukiman, dengan separuh wajahnya memerah. Di situ juga ada Kadispenerbad Brigjen TNI Joko Setyomartono.
Tahu ada heli kembali ke Timika dalam kondisi emerjensi, Kadispenerbad segera menghampiri. “Heli mu trouble, Ko,” tanya Kadis yang dijawab “siap”, oleh Eko. “Apanya,” tanya Danpus kembali. “Transmisi komandan, olinya bocor.” Sambil berdehem sejenak, “Tapi kamu masih siap terbang, kan,” sergap Kadis lagi.
“Siap, tidak siap terbang,” jawab Eko.
“Kamu tidak siap terbang,” ujar Danpus dengan wajah bertanya.
”Ya sudah, kamu istirahat saja dulu,” balas Danpus.
Kopilotnya kembali bertanya kepada Eko, “Kenapa sih sampeyan.” Kepada rekannya ini Eko pun berkata jujur bahwa ia tidak siap terbang. “Daripada kita celaka!”
Esok harinya, pagi-pagi sekali Eko sudah tiba di bandara. Kebetulan Kadis masih ada.
“Kamu masih siap terbang kan,” tanya Kadis.
“Siap, tidak,” kata Eko.
“Untuk kamu ketahui, saya sudah berusaha mencari ganti, tapi masih belum ada, jadi sabar saja. Tapi benar kamu ga siap?”
“Siap, tidak komandan.” Mekaniknya masih berusaha menyela dengan mengatakan bahwa heli tidak apa-apa.
Akhirnya sambil duduk di apron menyaksikan heli yang lainnya, batinnya bergejolak.
Hanya duduk menyaksikan heli-heli Penerbad datang dan pergi, dan rekan-rekannya menyabung nyawa di Mapnduma, apakah pantas bagi dirinya untuk bersantai-santai. Sekitar pukul 10, keberaniannya tiba-tiba muncul lagi.
Eko pun segera menyampaikan kepada kopilot Slamet Riyadi, “Kita berangkat lagi.” Eko lalu mendatangi Kadispenerbad dan menyampaikan kesiapannya. “Saya dipeluk oleh beliau.”
Bersama helinya, mereka membawa logistik tambahan untuk teman-temannya di garis depan yang mungkin sudah kelelahan.
“Saat itu saya betul-betul down karena takut dengan medan yang begitu tinggi dan tantangannya begitu berat. Apalagi dengan kopilot, saya tidak berani melepaskannya. Sehingga itu menekan saya hingga down. Saya mengerti kemampuan saya dan batas kemampuan, kalau saya paksakan mungkin bisa celaka,” Eko mengenang keputusan beraninya 17 tahun silam itu.
Selepas menyelesaikan tugas berat membebaskan sandera di Mapnduma ini, kesemua pelaku yang terlibat dalam operasi ini mendapat hadiah istimewa yaitu Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB).
Beberapa orang di antaranya menjadi sangat beruntung karena sebelumnya baru saja mendapat kenaikan pangkat reguler. Sehingga mereka naik pangkat dua kali dalam satu tahun.
Mereka adalah Lettu CPN Wahyu Djatmiko, Lettu CPN Cahaya Ginting, dan Lettu CPN Heru Subarmanto. Kesemua pelaku dari Penerbad juga mendapat penghargaan dari Kopassus dengan menerima brevet Komando kehormatan.
Operasi pembebasan sandera di Mapnduma memang telah lama berlalu. Namun sebagai sebuah operasi militer yang melibatkan begitu banyak helikopter, operasi ini terbilang istimewa dari berbagai aspek.
Bagi Penerbad dan mungkin juga Kopassus, ini adalah operasi Mobud terbesar yang pernah mereka laksanakan secara bersama.
PENULIS: Angkasa/Beny Adrian