Polisi Dikritik Soal Penanganan Pembubaran Ibadah di Bandung
Sudarto Toto, menilai polisi tidak konsisten dalam menyelesaikan konflik horizontal berbasis agama di tengah masyarakat.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti bidang kebebasan beragama Setara Institute, Sudarto Toto, menilai polisi tidak konsisten dalam menyelesaikan konflik horizontal berbasis agama di tengah masyarakat.
Hal tersebut, kata Sudarto, tampak dari pernyataan Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar yang mengatakan masalah pembubaran ibadah di Sasana Budaya Ganesha Bandung sudah selesai dengan adanya musyawarah.
"Kalau polisi konsisten, konflik diselesaikan melalui jalan musyawarah, tidak akan ada kasus Ahok. Jika penistaan agama diselesaikan melalui jalur hukum, kenapa tidak dengan kasus pembubaran ibadah. Kalau menurut saya pelaku pembubaran itu ya harus dipidanakan,” ujar Sudarto saat ditemui di kantor Setara Institute, Jakarta Selatan, Senin (12/12/2016).
Kasus Ahok yang dimaksud Sudarto adalah dugaan penodaan agama oleh Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama(Ahok) yang kini memasuki tahap persidangan.
Sudarto mengakui, negoisasi dan dialog merupakan salah satu model penyelesaian konflik horizontal yang cukup penting.
Namun, menurut dia, seringkali metode tersebut hanya digunakan dalam kasus yang pelakunya berasal dari kelompok yang dominan atau mayoritas.
Di sisi lain, Sudarto mengatakan cara musyawarah dinilai tidak tepat untuk menyelesaikan kasus pembubaran ibadah.
Sebab, aksi pembubaran ibadah merupakan bentuk pelanggaran yang cukup serius dalam ranah hukum pidana. Kebebasan beribadah, kata Sudarto, jelas tercantum dalam UUD 1945.
“Pembubaran orang beribadah itu kan merupakan pelanggaran yang cukup serius dalam ranah pidana. Ada jaminan dalam konstitusi bagi setiap orang untuk beribadah,” ungkap dia.
Ditemui secara terpisah, Direktur Peneliti Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, jika dalam konflik sebuah konflik telah terjadi tindak pidana, semisal pembubaran ibadah, polisi seharusnya memproses hukum pelaku.
Dia juga menilai penyelesaian kasus pembubaran ibadah melalui musyawarah akan menjadi preseden buruk dan tidak memberikan jaminan aksi serupa tidak akan terulang.
“Bagaimana bisa tindak pidana diselesaikan melalui musyawarah? Menurut saya bila kelompok yang melakukan pembubaran tidak diproses secara hukum ini akan menjadi preseden buruk," kata Ismail.
"Bukan hanya di Bandung tetapi akan terjadi di banyak tempat. Hal itu semakin mengokohkan bahwa seolah apa yang mereka lakukan adalah sebuah tindakan yang benar. Kesalahan seriusnya di situ,”.
Ismail menuturkan, aksi pembubaran kegiatan ibadah yang sudah mendapat izin jelas merupakan kategori tindak pidana.
Ada beberapa pasal yang bisa digunakan sebagai dasar hukum untuk memroses pelaku pembubaran.
Dia menyebut pembubaran ibadah bisa dikategorikan sebagai perbuatan tidak menyenangkan atau masuk sebagai tindakan menghalangi orang lain untuk beribadah sesuai agamanya. Artinya tindakan tersebut melanggar Pasal 28 E UUD 1945.
Sementara itu Surat Peraturan Bersama Tiga Menteri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 menyebutkan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk melaksanakan ibadah dan sepanjang sudah memperoleh izin maka ibadah tidak boleh dibubarkan.