Pengamat: Media Sosial Penuh Kebencian dan Caci Maki, Orang Bisa Beralih ke Radio
Di tengah derasnya gempuran media sosial mengeruk keuntungan pasar, media penyiaran khususnya radio diprediksi masih bisa bertahan.
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di tengah derasnya gempuran media sosial mengeruk keuntungan pasar, media penyiaran khususnya radio diprediksi masih bisa bertahan.
Pengamat Komunikasi Publik, Agus Sudibyo, mengungkapkan ada femonena masyarakat khususnya di Eropa yang kini mulai bosan dijejali media sosial.
Masyarakat tidak mendapatkan informasi lengkap namun sebatas informasi banal.
"Artinya masyarakat Eropa semakin tidak nyaman dengan pola komunikasi di media sosial yang keras, banal yang juga terjadi di Indonesia hari ini," kata Agus Sudibyo saat diskusi bertajuk 'Satu Suara Berjuta Telinga' di Cikini, Jakarta, Sabtu (17/12/2016).
Agus Sudibyo menuturkan ini bisa menjadi peluang radio karena masyarakat mulai kembali ke media konvensional seperti media cetak dan radio.
"Di Norwegia saya pernah baca masyarakat umur 45 tahun ke atas itu kembali ke media cetak lagi," ungkap dia.
Dalam konteks Indonesia, Agus Sudibyo mengatakan radio bisa memanfaatkan peluang di tengah media sosial yang semakin membuat masyarakat bosan.
Apalagi, kata dia, masyarakat jenuh dan tidak nyaman karena pola komunikasi di media sosial penuh caci dan maki dan kurang beretika.
"Ini kalau diperhatikan dengan serius barangkali sebuah peluang. Mari kembali ke radio, mungkin kampanyenya begitu," kata dia.
Selain itu, Agus Sudibyo berharap Pemerintah turut berperan untuk terus membantu media cetak untuk bertahan.
Menurut dia, negara-negara seperti Korea, India, Argentina dan Brasil memberikan perlindungan kepada media nasional.
"Semangatnya bukan menolak Google karena itu tidak mungkin. Tapi bagaimana ada langkah-langkah rill untuk melindungi industri media konvensional," kata dia.