Jokowi Tertawa Tanggapi Soal Fenomena Om Telolet Om
Presiden Joko Widodo ikut berkomentar soal fenomena "om telolet om". Tawanya pun terdengar saat memberikan komentar.
Editor: Anita K Wardhani
Fenomena `om telolet om' berawal dari fenomena masyarakat yang meminta sopir bus untuk membunyikan klakson bernada "telolet".
Fenomena itu terkenal setelah menjadi trending topic di media sosial Twitter dan dipertanyakan sejumlah musisi dan artis terkenal dunia.
Sebelum fenomena tersebut, game Pokemon Go juga sempat booming di Tanah Air pada pertengahan tahun ini.
Permainan virtual produksi Niantic itu sempat dilarang pemerintah untuk dimainkan di tempat-tempat tertentu, dengan banyak pertimbangan.
Kepolisian melalui Korps Lalu Lintas Polri akan mengecek intensitas suara "telolet" yang berasal dari klakson bus.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Pol Martinus Sitompul mengatakan, intensitas suara klakson tersebut tak boleh melebihi batasan yang sudah ditentukan dalan undang-undang.
"Masih akan dilihat dan akan dikur berapa sebenarnya desibelnya. Korlantas akan melakukan pengukuran sebagai pembanding pengukuran dari Dinas Perhubungan," ujar Martinus.
Dalam Undang-Undang Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan, terutama Pasal 69 PP tersebut menyebutkan bahwa suara klakson yang diperbolehkan paling rendah 83 desibel dan paling tinggi 118 desibel.
Sementara itu, sejauh ini umumnya suara "telolet" dari klakson dalam rentang 93 hingga 118 desibel. Dengan demikian, hal tersebut dianggap masih dalam batas wajar.
"Apabila melebihi ambang batas, bisa dilakukan penegakan. Baik dilakukan melalui tilang, maupun dengan teguran tertulis atau lisan," kata Martinus.
Suara "telolet" yang terlampau keras dikhawatirkan mengganggu kenyamanan pengguna jalan lainnya.
Selain itu, tempat membunyikan klakson juga tak bisa sembarangan. Suaranya bisa merusak konsentrasi pengemudi lainnya.
Klakson tidak boleh dibunyikan di sekitar tempat ibadah dan sekolah karena akan mengganggu aktivitas.
Oleh karena itu, penegakan hukum perlu dilakukan sebagai edukasi bahwa ada batasan-batasan yang harus dipatuhi untuk membunyikan klakson "telolet".
"Tapi jangan dilihat penegakan hukumnya. Ini akan dilakukan upaya persuasif dengan dilakukan patroli supaya jangan sampai jadi korban," kata dia.
Mayoritas penikmat klakson "telolet" adalah kalangan anak-anak. Mereka bergerombol di pinggir jalan menunggu suara tersebut dari sang sopir.
Namun, Martinus menegaskan bahwa keselamatan anak-anak harus diutamakan. (tribunnews/nic/rekso/kompas.com)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.