Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Perundingan Berjalan Lambat, Nasib Pengungsi Kachin Asal Myanmar Kian Memprihatinkan

Di sudut Myanmar utara, dekat perbatasan Tiongkok, ada perang saudara berkepanjangan yang jarang kita dengar.

zoom-in Perundingan Berjalan Lambat, Nasib Pengungsi Kachin Asal Myanmar Kian Memprihatinkan
KBR/Kannikar Petchkaew
Penungsi Kachin asal Myanmar hidupnya luntang-lantung akibat perundingan damai Pemerintah Myanmar dan Organisasi Kachin Merdeka atau KIO yang berlangsung lambat. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Di sudut Myanmar utara, dekat perbatasan Tiongkok, ada perang saudara berkepanjangan yang jarang kita dengar.

Organisasi Kachin Merdeka atau KIO dan pemberontakannya telah berlangsung sejak tahun 1960-an.

Tapi perang ini memanas dalam beberapa bulan terakhir. Penyebabnya sayap militer KIO, Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA), kehilangan banyak pos utamanya karena diserang pasukan pemerintah. 

Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Asia Calling produksi Kantor Berita Radio (KBR).

Ja Sieng baru berusia tiga bulan. Dia dilahirkan di tempat penampungan diantara suara deru tembakan mortir. Pada 9 Juni 2011, perjanjian gencatan senjata yang sudah berjalan 17 tahun antara Angkatan Darat Myanmar dan KIO berantakan.

Negara Bagian Kachin yang berpenduduk satu juta jiwa berubah menjadi zona perang.Pertempuran berkecamuk antara tentara dan KIO yang telah lama berjuang untuk merdeka. 

Selama enam tahun terakhir lebih dari 120 ribu orang telah mengungsi, termasuk keluarga bayi Ja Sieng. Ibu Ja Sieng yang bernama Ja Grong mengingat kembali malam saat dia melarikan diri.

“Suara mortir itu begitu dekat dan menakutkan. Berminggu-minggu kami tidak bisa tidur. Dan pada satu dini hari, mortir jatuh sangat dekat. Meski tidak ada yang terluka tapi kami terlalu takut untuk tetap di rumah. Sambil menggendong anak-anak, kami berlarian menuju sekolah terdekat,”ungkapnya

Itu bukan kali pertama mereka harus lari mencari perlindungan dan mungkin juga bukan yang terakhir. Ketika pertempuran terlalu dekat mereka terpaksa berlindung di mana saja. 

“Kami kembali ke tempat penampungan ini ketika sekolah mulai dibuka. Kami tidak merasa aman sama sekali tapi kami tidak punya pilihan lain,” kata Ja Grong.

Dengan tertutup rapatnya perbatasan antara Myanmar dan Tiongkok, pengungsi di Kachin tidak punya tempat untuk dituju.Para pengungsi tinggal di lebih dari 100 kamp sementara di daerah yang dikuasai pemberontak KIO.

Kamp itu terdiri dari ratusan gubuk bambu berdebu dan bergoyang di atas tanah rawa. Tidak ada listrik atau air dan atap gubuk terbuat dari kardus. 

Beberapa pengungsi bahkan telah tinggal di kamp-kamp ini selama enam tahun.Pok Ja bercerita pada saya dia ingin pulang tapi itu tidak mungkin. Dia sudah tidak punya rumah lagi karena dihancurkan tentara.

Sejak awal tahun lalu, bantuan kemanusiaan termasuk dari PBB tidak bisa lagi masuk ke daerah yang dikuasai KIO karena diblokir pemerintah.

“Mei lalu truk Program Pangan Dunia yang membawa pasokan makanan diminta putar balik. Sejak itu mereka tidak pernah datang lagi,” jelas Zaw Raw, kepala Komite Bantuan Pengungsi KIO.

Dia juga mengatakan situasi di kamp-kamp ini sudah hampir putus asa. 

Para guru di sekolah pengungsi sangat khawatir. Sudah sebulan berlalu sejak kiriman beras yang dipasok LSM datang dan persediaan kian menipis. Para siswa sekarang terpaksa makan dua kali sehari.

Para siswa di Kachin trauma dengan perang. Mereka telah melihat kekerasan yang tidak seharusnya mereka lihat.Dan makin berkurangnya pasokan makanan, membuat mereka kurang makan dan akibatnya sulit berkonsentrasi di kelas.

Banyak dari mereka yang putus sekolah dan bekerja serabutan bahkan mencuri sementara yang lain melarikan diri. Di utara Laiza, yang berjarak empat jam berkendara di jalan bergelombang ini, adalah ibukota KIO.

Terletak di puncak sebuah gunung yang disebut Shaityang, yang udaranya sangat dingin di malam hari.Saat ini musim semi dan tercium bau bambu segar yang baru dipotong untuk membuat tempat penampungan.

San Noring berusia 10 tahun. Meski baru tiba di sini dua pekan lalu tapi dia sudah berani berjalan-jalan di sekitar kamp.Pakaiannya compang-camping dan dia tidak memakai alas kaki. Dia belum bersekolah karena sekolah di kamp ini belum selesai dibangun.

Dia melarikan diri kemari bersama orangtua dan ribuan orang lainnya. Sebelumnya mereka tinggal di sebuah kamp dekat perbatasan Tiongkok ketika pertempuran makin mendekat.

San bercerita pada saya kalau mereka mencoba untuk menyeberang ke Tiongkok tapi penjaga perbatasan memaksa mereka kembali.Jadi mereka terpaksa tidur di alam terbuka di sepanjang sungai selama dua pekan sebelum pindah kemari.

Putaran perundingan damai berikutnya yang diselenggarakan pemerintah dan melibatkan KIO, berlangsung di Yangon akhir Februari ini. Tapi para pengungsi di sini ragu perundingan itu akan membawa perubahan nyata.

Setelah kemajuan perundingan yang lambat selama bertahun-tahun, yang mereka inginkan sekarang hanyalah perdamaian.

Penulis : Kannikar Petchakaew /Sumber : Kantor Berita Radio (KBR).

 

Admin: Sponsored Content
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas