Kepala Bakamla Laksdya Arie Sudewo akan Dijemput Paksa karena Dua Kali Mangkir
Kepala Badan Keamanan Laut Laksamana Madya Arie Sudewo akan dijemput paksa karena sudah dua kali mangkir dari persidangan.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan bekerjasama dengan Puspom TNI untuk menghadirkan Kepala Badan Keamanan Laut Laksamana Madya Arie Sudewo dalam sidang lanjutan dugaan korupsi pengadaan monitoring satelitte di Badan Keamanan Laut tahun anggaran 2016.
Hal itu sudah sewajarnya dilakukan karena semua orang harus sama kedudukannya di hadapan hukum, terlebih lagi anggota TNI yang sudah sepatutnya taat hukum.
"Jadi KPK mengajak kerja sama Puspom TNI untuk menghadirkan tidak ada masalah, semua orang harus sama di hadapan hukum," ujar Pakar Hukum Tata Negara Irmanputra Sidin.
Menurut Irman, upaya paksa juga bisa dilakukan selama semua sudah dilalui tahapan sebelumnya.
Bahkan apabila diperlukan bisa meminta kerja sama Panglima TNI guna menghadirkan kepala Bakamla secara persuasif.
Kepala Badan Keamanan Laut Laksamana Madya Arie Sudewo akan dijemput paksa karena sudah dua kali mangkir dari persidangan untuk terdakwa staf PT Merial Esa Hardy Stefanus dan Muhammad Adami Okta.
Upaya paksa tersebut telah mendapat persetujuan atau penetapan dari majelis hakim yang dipimpin Franky Tumbuwun.
"Barusan di sidang kami minta waktu pemanggilan satu kali lagi disertai penetapan yang sudah disetujui majelis hakim. Penetapan tersebut untuk menghadirkan ke persidangan dan selanjutnya kami akan koordinasi dengan Puspom (TNI) karena ini yurisdiksinya pengadilan militer," kata Jaksa KPK Kiki Ahmad Yani, di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta.
Menurut Kiki Ahmad Yani, kehadiran Arie Sudewo sangat penting baik untuk persidangan dan untuk dirinya sendiri.
Satu lagi saksi yang sangat penting adalah Ali Fahmi atau Fahmi Habsiy. Namun, Ali Fahmi juga tidak pernah hadir selama tiga kali dipanggil dan kepadanya akan diterapkan Pasa 159 ayat 2 KUHAP yakni untuk dihadirkan ke persidangan.
"Kami minta kedua saksi hadir di persidangan supaya menjadi persidangan yang adil terbuka karena kedua orang ini banyak disebut-sebut saksi sebelumnya mengenai bagaimana proses penganggara, proses lelang di Bakamla dan disebut-sebut mengenai persentase uang ke pejabat-pejabat tinggi di Bakamla dan pejabat lainnya," ujar Kiki Ahmad Yani.
Menurut Kiki, sebelum persidangan hari ini, pimpinan KPK sebenarnya telah berkirim surat kepada Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan ditembuskan ke Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Ade Supandi, Puspom TNI dan POM TNI AL.
"Namun sampai hari ini beliau masih berhalangan," kata Kiki.
Ternyata, hari ini Arie Sudewo tidak bisa hadir karena sedang dinas di Australia sementara pada pemanggilan pertama dia mangkir karena alasan dinas ke Manado, Sulawesi Utara.
Ketua Majelis Hakim Franky Tumbuwun menyetujui penetapan untuk menghadirkan Arie Sudewo.
Baca: KPK Simpan Rapat Rekaman Miryam
"Ya nanti diusahakan, minta ke panitera," kata Franky saat memimpin sidang.
Dalam surat dakwaan Laksamana Madya Arie Sudewo disebut meminta jatah 7,5 persen dari pengadaan monitoring satelitte senilai Rp 400 miliar di Badan Keamanan Laut.
Jatah 7,5 persen adalah setengah dari fee 15 persen yang disepakati antara Fahmi Darmawansah dengan Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi.
Permintaan jatah tersebut terungkap melalui pembicaraan Arie Sudewo dengan Eko Susilo Hadi selaku Deputi Bidang Informasi Hukum dan Kerjasama Bakamla sekaligus Pelaksana Tugas Sekretaris Utama Bakamla dan Kuasa Pengguna Anggaran Satuan Kerja Bakamla tahun 2016.
"Bahwa sekitar bulan Oktober 2016 bertempat di ruangan Kepala Bakamla dilakukan pertemuan antara Kepala Bakamla Arie Soedewo dan Eko Susilo Hadi membahas jatah 7,5 persen untuk Bakamla dari pengadaan monitoring satelitte yang telah dimenangkan PT Melati Technofo Indonesia," kata Jaksa Kiki Ahmad Yani saat membacakan dakwaan Hardy Stefanus di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta.
Dukungan ICW
Indonesia Corruption Watch (ICW) mendukung upaya paksa menghadirkan Kepala Badan Keamanan Laut Laksamana Madya Arie Sudewo dalam sidang lanjutan dugaan korupsi pengadaan monitoring satelitte di Badan Keamanan Laut tahun anggaran 2016.
"Kami dukung upaya paksa menghadirkan kepala Bakamla," ujar Koordinator Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri.
Namun ICW tetap berharap agar kepala Bakamla datang ke persidangan tanpa upaya paksa.
"Kehadirannya di persidangan tanpa upaya paksa merupakan bukti prajurit TNI taat hukum," kata Febri Hendri.
Staf Ahli Buronan
Ali Fahmi alias Fahmi Habsiy masih belum bersedia memenuhi tiga kali panggilan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar hadir pada persidangan dugaan korupsi pengadaan satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Padahal, peran Ali Fahmi sangat besar karena dia adalah staf ahli bidang anggaran Kepala Badan Keamanan Laut Laksamana Madya Arie Sudewo.
Ali Fahmi adalah pihak yang menawarkan PT Merial Esa agar mengikuti tender dengan ketentuan menyetor 15 persen sebagai 'fee' agar dimenangkan.
Jaksa KPK Kiki Ahmad Yani mengakui walau sebelumnya telah ada penetapan dari majelis hakim untuk menghadirkan secara paksa Ali Fahmi, namun keberadaannya masih tidak diketahui.
"Ali Fahmi kita sudah sampai ke rumahnya tapi tidak tahu di mana. Kita juga evaluasi kepada yang bersangkutan selanjutnya seperti apa kalau tidak hadir terus ya berarti yang bersangkutan akan dilakukan seperti itu," kata Kiki Ahmad Yani.
Kiki mengaku pihaknya masih mempertimbangkan terkait kemungkinan Fahmi Habsiy agar dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
Penetapan untuk upaya paksa sesuai Pasal 159 ayat 2 KUHAP akan dijadikan evaluasi untuk ke tahap selanjutnya.
"Kita lihat penetapan ini seperti apa, kita laksanakan penetapan tapi kalau tidak ada juga insha Allah kita akan berkoordinasi dengan penyidik tindak lanjutnya seperti apa," kata Kiki Ahmad Yani.
Ali Fahmi adalah staf ahli bidang anggaran Arie Sudewo.
Dia sebenarnya bukanlah pejabat struktural di Badan Keamanan Laut namun sebagai staf ahli yang ditunjuk Arie Sudewo.
Pada kasus tersebut, Ali Fahmi menawarkan kepada Direktur PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah untuk ikut pengadaan satelitte monitoring dan drone di Bakamla.
Ali Fahmi kemudian meminta fee 15 persen dan semuanya akan diurus oleh dia sendiri dan Fahmi hanya mengurus dokumen yang dibutuhkan.
Sebagai uang muka, Fahmi Darmawansyah melalui stafnya Hardy Stefanus dan Muhammad Adami Okta menyerahkan Rp 24 miliar di Hotel Ritz Carlton.
Belakangan, Fahmi Darmawansyah marah karena pengadaan barang untuk drone tidak terealisasi karena anggaran Bakamla dipangkas Pemerintah.
Fahmi Darmawansyah kemudian meminta DP tersebut namun hanya sebagian yang bisa dikembalikan Ali Fahmi.
Ali Fahmi beralasan telah membagikan uang tersebut kepada anggota DPR RI yang bertugas untuk penganggaran.
"Jadi kehadiran Ali Fahmi itu sangat penting agar tidak menjadi fitnah bagi orang lain," ujar Kiki Ahmad Yani.
Ali Fahmi kemarin dijadwalkan bersaksi untuk terdakwa Hardy Stefanus dan Adami Okta. (eri/mal/wly)