Ketua Komisi IX DPR Desak Menkes Tegur RS Mitra Keluarga Kalideres Atas Meninggalnya Bayi Debora
"Tentu besok ketika raker dengan Menkes, kami akan mendesak Menteri untuk menegur keras pada semua RS yang seperti ini."
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendesak Menteri Kesehatan RI Nila Moeloek menegur Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat atas meninggalnya bayi berusia empat bulan, Tiara Debora Simanjorang.
Ketua Komisi IX Dede Yusuf, mengatakan, sesuai dengan Undang-undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pasien dalam kondisi darurat (emergency) harus segera ditangani pihak rumah sakit.
Karena persoalan administrasi bisa dilakukan belakangan, termasuk uang muka atau DP untuk biaya perawatan.
"Tentu besok ketika raker dengan Menkes, kami akan mendesak Menteri untuk menegur keras pada semua RS yang seperti ini. Jika belum juga maka akan kami panggil," kata Politikus Demokrat ini kepada Tribunnews.com, Minggu (10/9/2017).
Ia pun menegaskan bahwa RS Mitra Keluarga bisa dipidanakan jika terbukti lalai dalam melayani bayi Debora sehingga meninggal dunia di IGD rumah sakit tersebut.
"Jika lalai maka dikenakan sanksi dan pidana," kata Dede Yusuf kepada Tribunnews.com.
Baca: Pihak RS Mitra Keluarga Kalideres Bisa Dipidanakan Dalam Kasus Meninggalnya Bayi Debora
Kata dia, pertolongan pertama harus diberikan Rumah sakit.
Jika harus dirujuk ke RS lain, pihak rumah sakit harus mencarikannya.
"Tidak membiarkan keluarga yang kelabakan mencari," kritiknya.
Karenanya menurut Dede Yusuf, pemerintah harus melakukan penyelidikan mendalam dan memberikan sanksi berat jika RS Mitra kelurga Kalideres terbukti melanggar UU tentang kesehatan.
Lebih lanjut ia pun mengaku sudah mengek juga ke BPJS Kesehatan.
Dijelaskan bahwa RS tersebut meminta untuk menjadi rekanan BPJS.
Namun, masih terkendala karena persyaratan belum lengkap.
Pasangan Henny Silalahi dan suaminya, Rudianto Simanjorang dirundung duka.
Mereka hanya bisa mengenang bayi mereka, Tiara Debora, yang meninggal, Minggu (3/9/2017).
Nyawa bayi berusia empat bulan itu tak tertolong, karena berbelitnya urusan administrasi di rumah sakit lantaran rumah sakit itu belum ada kerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Kepada Warta Kota (Tribunnews.com Network), Sabtu (9/9/2017), Henny dan Rudianto mengungkapkan rasa penyesalan mereka memercayakan nyawa Debora kepada pihak RS Mitra Keluarga Kalideres.
Pasangan suami istri ini tinggal di rumah kontrakan berukuran kecil di Jalan Husen Sastranegara, Gang H. Jaung RT 02/RW 01 Kampung Baru, Kecamatan Benda, Tangerang.
Rumah ini hanya mempunyai tiga ruangan saja.
Tampak terparkir sepeda motor butut milik Rudianto di depan rumah.
Henny yang mengenakan daster berwarna cokelat muda masih tampak murung di ruang tamu saat ditemui.
Ia memegangi pakaian Debora dan menceritakan kepiluannya yang mendalam.
"Anak saya ini memang lahir prematur, ada masalah sama jantungnya. Sudah berobat dan perlahan-lahan keadaanya membaik," ujar Henny saat ditemui Warta Kota di kediamannya, Sabtu (9/9/2017).
Debora yang berusia 4 bulan ini, tiba-tiba mengalami sakit pada Minggu (3/9/2017) dini hari.
Orangtuanya pun mendadak panik dan mencoba membawanya ke RS Mitra Keluarga, Kalideres, Jakarta Barat.
"Kami sudah panik, dan langsung bawa ke rumah sakit. Debora batuk pilek dan sesak napas," ucapnya.
Pihak RS Mitra Keluarga pun langsung melakukan pelayanan.
Bayi berusia 4 bulan itu segera mendapatkan penanganan di IGD.
Namun kondisi Debora semakin melemah.
Pertolongan pertama
Dokter jaga saat itu, Irene Arthadinanty Indrajaya, langsung melakukan pertolongan pertama dengan melakukan penyedotan (suction).
Debora dipasangi berbagai macam alat monitor, infus, uap, dan diberikan obat-obatan.
Saat itu, pukul 03.30, Debora sudah bernapas dan menangis kencang.
"Saya pikir sembuh nih, terus saya dipanggil dokter Irene, dia bilang ini harus masuk ruang PICU (pediatric intensive care unit) karena sudah empat bulan usianya, tetapi dia bilang di sini enggak terima BPJS," kata Henny.
Rudianto dan Henny pun langsung mengurus administrasi agar anak mereka dirawat di ruang PICU.
Rudianto bercerita, ia menghadap bagian administrasi dan disodori semacam daftar harga.
Uang muka untuk pelayanan itu Rp 19.800.000.
"Saya bilang saya enggak bawa duit sama sekali, cuma bawa kunci sama duit di kantong celana untuk tidur, tetapi mereka bilang harus bayar DP (uang muka)," kata Rudianto.
Ia pun tancap gas ke rumah untuk mengambil dompet.
Rudianto kemudian langsung menarik semua uang di ATM yang dimilikinya dan mencairkan sekitar Rp 5 juta.
Surat rujukan
Dokter, perawat, dan petugas administrasi tetap menolak serta meminta uang dilunasi dulu sebesar Rp 11 juta.
Henny mengatakan, dokter saat itu sempat menyebut tarif perawatan di ruang PICU semalam mencapai Rp 20 juta.
Sekitar pukul 09.00, Henny dihubungi temannya yang mengabarkan ada ketersediaan ruang PICU di RS Koja.
Kondisi kritis
Kondisi Debora kritis, dokter dan suster bergantian meresustasinya (CPR).
Dokter menyebut Debora masih bernapas, tetapi jantungnya berhenti.
Monitor jantung menunjukkan garis lurus tak berkelok.
Henny dan suaminya hanya bisa memegangi tangan anak malang itu.
Ia menangis dan meminta Debora bertahan.
"Saya teriak, anak saya kedinginan dan tubuhnya pucat. Di situ saya menjerit. Dek, jangan pergi, tolong kamu bertahan, jangan menyerah," kata Henny.