570 Ribu Penduduk Jakarta Mengalami Gangguan Mental Emosional
sebanyak 570 ribu penduduk Jakarta dengan usia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional.
Penulis: Rizal Bomantama
Editor: Sugiyarto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rizal Bomantama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam rangka peringatan Hari Pencegahan Bunuh Diri sedunia tahun 2017, Rumah Sakit Jiwa dr Soeharto Heerdjan (RSJSH) mengadakan diskusin yang menghadirkan Ketua Komite Medik RSJSH Agung Frijanto, Ketua Pusat Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) sekaligus mantan Wakil Ketua Komisi IX DPR RI periode 2009-2014 Nova Riyanti Yusuf, dan Kepala Instalasi Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja, Isa Multazam Noor.
Diskusi itu dilaksanakan di RSJSH, Grogol, Jakarta Barat, Senin (18/9/2017) siang.
Agung Frijanto dalam presentasinya memaparkan bahwa sebanyak 570 ribu penduduk Jakarta dengan usia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional.
"Dan gangguan jiwa berat seperti psikotik dan skizofrenia ada sekitar 11 ribu penduduk atau 1,1 satuan ukur permil di mana angka itu mendekati angka gangguan jiwa berat seluruh Indonesia yakni 1,7 permil."
"Sementara gangguan mental emosional Jakarta yang sekitar 5,7 persen mendekati total jumlah penduduk Indonesia yang mengalami hal sama yakni 6 persen," ungkap Agung Frijanto.
Tingginya angka gangguan mental dan jiwa di Jakarta diakibatkan karena kompleksnya kehidupan yang terjadi di perkotaan yang memiliki kajian sendiri yang dinamakan "urban mental health".
Agung Frijanto menyebut ada beberapa akar permasalahan yang menyebabkan hal tersebut.
"Yang pertama adalah hal-hal yang tidak dapat dihindari dalam proses urbanisasi yakni masuknya masyarakat dari berbagai latar belakang sehingga menimbulkan berbagai bentuk konflik kepentingan dan persaingan seperti."
"Kebijakan perkembangan kota terkait pemanfaatan lahan, penggusuran, dan marjinalisasi penduduk tertentu juga turut menjadi faktor pendorong gangguan kesehatan jiwa masyarakat kota," lanjutnya.
Agung Frijanto mengingatkan bahwa gangguan jiwa dapat dilihat dalam bentuk indikator yang lebih besar dari sekedar gangguan jiwa individu.
"Seperti gangguan perilaku kelompok (kenakalan remaja, vandalisme, penyalahgunaan obat); meningkatnya gangguan perilaku sosial (kekerasan dalam rumah tangga), perceraian, anarkisme, kriminalitas, angka bunuh diri, bentrok massal, perjudian, pelacuran); dan kebijakan kependudukan (perkotaan ) yang kurang tepat yang terkait dengan kekacauan sistem nilai-budaya, pola hidup berubah, turunnya nilai sosial dan kepedulian sosial, ketidakpastian, persaingan, kekerasan, dan sebagainya," tegasnya.