Korupsi Dinilai Mengancam Eksistensi NKRI
Sejarah mencatat, korupsi terbukti telah menghancurkan banyak negara dan lembaga.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, CIKARANG - Sejarah mencatat, korupsi terbukti telah menghancurkan banyak negara dan lembaga.
Mesir kuno hancur karena korupsi. Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), yang berdiri pada 1602, gulung tikar pada 31 Desember 1799 karena korupsi. Bahkan, Kekaisaran Romawi yang perkasa pun binasa karena korupsi.
“Kini, korupsi pun mengancam eksistensi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia, red),” ungkap Sumaryoto Padmodiningrat ketika menyampaikan kuliah umum di hadapan ratusan mahasiswa dan sivitas akademika Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Pelita Bangsa di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (20/1/2018).
Sumaryoto yang juga pengusaha dan mantan anggota DPR RI ini membawakan makalah berjudul “Korupsi Mengancam Eksistensi NKRI” dalam kuliah umum yang juga dihadiri Ketua Yayasan/STIE Pelita Bangsa HM Mardiyana.
Indonesia, kata Sumaryoto, bisa menjadi negara gagal dan kemudian bubar bila tidak bisa membebaskan diri dari belenggu korupsi. Ia merujuk contoh negara-negara gagal di zaman modern ini, yang dipicu oleh korupsi yang berkelindan dengan kemiskinan dan konflik bersenjata, antara lain Somalia, Sudan, Sudan Selatan, Afrika Tengah, Yaman, Suriah, Chad, Kongo, Afghanistan dan Haiti. “Yang terbaru sebagai negara gagal adalah Venezuela,” cetusnya.
Indonesia, kata Sumaryoto, terus diguncang skandal korupsi pasca-gerakan Reformasi 1998. Selain korupsi raksasa Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP), ada berbagai kasus rasuah yang pelakunya tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pertanyaannya, apakah kecemasan kita sebagai anak bangsa terbatas pada lenyapnya uang negara yang dirampas koruptor?
“Jawabnya tidak! Episentrum masalah bukan semata kerugian negara. Betul, kerugian finansial menjadi salah satu masalah pokok karena terjadi ketidakadilan, di mana ada satu atau dua orang kuat dan berkuasa kenyang, sementara jutaan rakyat kelaparan," ujarnya.
"Namun, jika kita serius menyelami, fokus utama yang menjadi keharusan bagi elite bangsa terletak pada relasi sebab-akibat antara korupsi dan eksistensi negara. Muatan utama refleksi tidak lagi semata korupsi dan kerugian negara, tetapi permasalahan korupsi ideologis (ideological corruption),” papar Sumaryoto yang juga Ketua Dewan Pembina Persatuan Perangkat Desa Republik Indonesia (PPD RI).
Dalam korupsi, kata Sumaryoto, ada bahaya terselubung, yakni pembunuhan ideologi negara. Pembunuhan ideologi masuk dari pintu sindikalisme berupa pelaksanaan kebijakan-kebijakan (kotor) negara untuk kepentingan persekongkolan jahat, kendati memakai baju kepentingan umum.
“Dalam sindikalisme korupsi atau sindikat koruptor, empat pilar kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, yang bersifat koeksistensif digerogoti oleh kepentingan persekongkolan. Ekses yang paling mencelakakan adalah deklinasi tajam kepercayaan publik terhadap ideologi dan simbol-simbol kebangsaan,” terang Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI) itu.
Dalam sindikat koruptor, lanjut Sumaryoto, jembatan representasi rakyat yang diembankan kepada kelompok kelas perwakilan, baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif, mengalami patahan tak tersambungkan.
Mengutip pendapat Gaetano Mosca, patahan paling mencolok ada pada kelakuan destruktif lembaga legislatif, yang berbuntut keraguan akan masa depan pemerintahan representatif. “Guncangan besar eksistensi bangsa ini terletak di sana. Sebab, dari sudut pandang sindikalisme, korupsi tidak lagi sekadar penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan diri atau orang lain.
Namun, korupsi merupakan tindakan sekelompok orang yang berkuasa, yang sengaja menghancurkan ideologi negara lewat sindikat korupsi. Dalam sindikalisme korupsi bersemayam pengeroposan ideologi negara,” urainya.
Korupsi, masih kata Sumaryoto, juga menghambat pembangunan dan memperparah kemiskinan jutaan orang di Indonesia. Mengutip data Indonesia Corruption Watch (ICW), dalam 15 tahun terakhir, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 205 triliun.
"Tingginya angka korupsi ternyata berbanding lurus dengan angka kemiskinan,” tandas Sumaryoto sambil mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) di mana pada Maret 2017 jumlah penduduk miskin mencapai 27,77 juta (10,64% dari jumlah penduduk Indonesia) atau bertambah 6,90 ribu orang dibandingkan September 2016 sebesar 27,76 juta orang (10,70%).
F
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.