Drama Menjelang 17 Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan RI Nyaris Gagal
Ternyata Republik Indonesia hampir gagal diproklamasikan pada waktunya. Apa penyebabnya?
Editor: Anita K Wardhani
Desa itu gelap gulita karena penduduk sengaja mematikan lampu mengingat wilayah itu masuk dalam kancah perang. Cukup lama mereka menunggu di situ sampai beberapa mobil datang menjemput untuk membawa mereka ke sebuah gedung besar bekas kantor Gubernur Jenderal Prancis di pinggiran Kota Saigon.
Mereka kecapekan. “Ternyata waktu menunjukkan pk 02.00 dini hari. Artinya, kita sudah masuk tanggal 11 Agustus,” kenang dr. Soeharto.
Pada pukul 10.00 mereka diantar menuju Lapangan Udara Saigon dan terbang sejauh 350 km ke arah timur laut menuju Dalat. Di kota peristirahatan dengan banyak bangunan elok itu mereka meng-inap semalam.
Kesokan harinya, Marsekal Terauchi menemui mereka di gedung berarsitektur Eropa Klasik bekas rumah peristirahatan Gubernur Jenderal Prancis yang terletak di puncak bukit.
“Sekarang ini, terserah kepada Tuan-tuan. Pemerintah Dai Nippon menyerahkan sepenuhnya proses kemerdekaan kepada rakyat Indonesia. Semuanya kini di tangan tuan-tuan,” kata perwira tinggi bertubuh jangkung itu dari kursi roda. Ia mulai diserang stroke.
“Apakah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dapat melaksanakan tugasnya sekitar tanggal 24 Agustus?” tanya Soekarno.
“Itu semua terserah kepada Tuan-tuan,” jawab Terauchi.
Di antara kegembiraan para tokoh Indonesia, terutama Hatta yang 12 Agustus itu berulang tahun, masih terselip rasa heran, kenapa Jepang menyerahkan begitu saja kemerdekaan Indonesia.
Dalam persinggahan di Saigon sore harinya, Letkol Nomura menjelaskan situasi yang sudah makin mendesak Jepang. Tentara Rusia menyerang Manchuria, sementara dari timur pasukan Sekutu juga mendesak.
Tapi Nomura tidak menjelaskan soal Kota Hiroshima dan Nagasaki yang hancur lebur oleh bom atom AS. Soekarno dan Hatta menduga, faktor Hiroshima dan Nagasaki adalah pendorong utama Jepang ingin segera mengakhiri kekuasaannya di Indonesia.
Dengan tegas Soekarno menyampaikan kepada Hatta, “Hukum internasional hanya menentukan empat syarat untuk bisa diakui sebagai negara merdeka: pertama, adanya tanah air; kedua, adanya rakyat; ketiga, adanya sebuah pemerintahan. Modal kita sudah lengkap dan kita bisa saja mendirikan pemerintahan. Kelengkapan keempat, bangsa lain pasti bersedia memberikan pengakuan terhadap kemerdakaan tersebut, bukankah begitu?”
“Benar,” jawab Hatta. “… dan Jepang telah bersedia melakukannya.”
Pagi hari 13 Agustus, rombong-an meninggalkan Saigon menuju Syonanto (Singapura). Tapi mereka tidak lagi menggunakan pesawat penumpang, melainkan pesawat tempur jenis pembom, fighter bomber, bermesin ganda dengan kabin berlubang bekas tembakan.
Tidak ada pejabat Jepang yang menyertai perjalanan pulang itu, hanya penerbang dan navigator. Malah di kabin tidak tersedia kursi, melainkan ruang sempit dengan sebuah bangku panjang, persis di belakang kokpit.