Pertemuan NMRAs Anggota OKI di Jakarta Nilai Perlunya Regulasi Halal untuk Obat dan Vaksin
Data WHO menyebutkan, sebanyak 30 persen populasi dunia kekurangan akses terhadap obat yang bersifat life-saving, termasuk vaksin.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pertemuan perdana kepala otoritas regulatori obat negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Jakarta pada 21-22 November 2018 menghasilkan sejumlah kesepakatan yang disebut "Deklarasi Jakarta".
Deklarasi itu salah satunya, menilai perlunya redefinisi terminologi halal untuk obat dan vaksin.
"Definisi halal pada produk makanan tak dipersoalkan, karena kita punya begitu banyak pilihan. Tetapi pada obat dan vaksin, pilihan itu sangat sedikit sehingga terminologi halal perlu didefinisi ulang," kata Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Penny K Lukito usai penutupan "The First Meeting of the Heads of National Medicines Regulatory Authorities (NMRAs) from Organization of Islamic Cooperation (OIC)" di Jakarta, Kamis (22/11/2018).
Penny dalam kesempatan itu didampingi Assistant Secretary General OIC, Muhammad Naeem Khan, CEO of Saudi Arabia FDA, Hisham S Al Jadhey, Mustafa AM Alnafi dari Palestina, Markieu Janneh Kaira dari Gambia dan Kamapradipta Isnomo dari Kementerian Luar Negeri.
Penny menjelaskan, redifinisi kata halal saat ini memiliki urgensi. Hal itu akibat minimnya ketersediaan vaksin dan obat halal di pasaran. Padahal, vaksin diperlukan untuk pencegahan penyakit. "Unsur emergency inilah salah satu alasan perlunya redefinisi kata halal pada obat dan vaksin," ucapnya.
Data WHO menyebutkan, sebanyak 30 persen populasi dunia kekurangan akses terhadap obat yang bersifat life-saving, termasuk vaksin.
Kondisi itu juga terjadi di beberapa negara anggota OKI, yang antara lain disebabkan oleh keterbatasan kapasitas produksi dari industri farmasi yang ada di negara tersebut.
"Sejumlah negara OKI hingga kini masih berjuang melawan epidemi penyakit menular yang sebenarnya dapat dicegah lewat vaksin. Pentingnya perluasan akses bagi negara tak mampu untuk mendapat vaksin. Termasuk obat-obatan murah," ujarnya.
Rencana kerja selanjutnya, kata Penny, pembentukan working group yang khusus menangani masalah obat dan vaksin halal.
Indonesia akan mengambil inisiatif, merujuk pada pengalaman Biofarma yang berhasil membuat vaksin dengan kualitas yang diakui badan kesehatan dunia WHO.
"Kami menargetkan 5-6 tahun kedepan sudah tersedia pilihan vaksin halal tak hanya untuk negara-negara anggota OKI, tetapi juga kebutuhan dunia," tuturnya.
Hal lain yang menjadi butir dalam Deklarasi Jakarta adalah perlunya dilakukan harmonisasi standar menuju kemandirian obat dan vaksin.
Termasuk akses bagi negara-negara miskin di lingkungan OKI untuk mendapatkan obat dan vaksin murah.
"Yang terpenting, lewat pertemuan ini terbangun jejaring untuk menjalankan fungsi regulatori guna mewujudkan ketersediaan obat yang aman, berkhasiat dan bermutu," katanya.
Ditambahkan, working group juga akan dibuat khusus untuk menangani produksi dan peredaran obat palsu. Karena kondisinya sudah mengkhawatirkan. Terlebih keberadaan obat palsu tersebut berbahaya bagi tubuh. Karena tidak diketahui kandungan bahan aktifnya.
"Kami akan mengembangkan modul-modul pengawasan yang bisa mendeteksi obat palsu. Selain juga perlunya warning sistem bagi negara anggota OKI yang mendapatkan kasus obat palsu di negara masing-masing," kata Penny menandaskan.