Jika Regulasi Ketenagakerjaan Kaku, Mennaker Sebut Indonesia Bisa Tertinggal dari Negara Lain
"Ke depan, tentu kita terus perbaiki ekosistem ini, baik di pusat melalui UU (Nomor) 13 (Tahun 2013) dan juga di daerah," kata Hanif Dhakiri
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Ketenagakerjaan, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri mengatakan regulasi dalam bidang ketenagakerjaan seharusnya dibuat secara fleksibel agar bisa memudahkan dan memaksimalkan performa para tenaga kerja dalam berkarya.
Hanif Dhakiri mengaku saat ini Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pun tengah dalam kajian.
Baca: Jam Kerja Kurang Fleksibel, Ini Penjelasan Menaker Hanif Dhakiri
Hal itu dilakukan agar perbaikan ekosistem ketenagakerjaan bisa merata, baik di Pusat hingga ke tingkat daerah.
"Ke depan, tentu kita terus perbaiki ekosistem ini, baik di pusat melalui UU (Nomor) 13 (Tahun 2013) dan juga di daerah, untuk memastikan ekosistem ketenagakerjaan ini lebih fleksibel," ujar Hanif Dhakiri dalam rakornas yang digelar di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Selasa (8/1/2019).
Menurut Hanif Dhakiri, regulasi tersebut harus fleksibel dan mengikuti perkembangan zaman.
Pemerintah, kata Hanif Dhakiri, mau tidak mau harus mengikuti perubahan tersebut.
"Dunia sekarang bergerak fleksibel, maka kalau regulasi kita tidak fleksibel, kita akan lambat untuk bergerak," jelas Hanif Dhakiri.
Lebih lanjut Hanif Dhakiri menegaskan, jika pemerintah lamban dalam memahami kondisi yang ada saat ini, termasuk dalam mengubah regulasi, maka kemungkinan bisa tertinggal dari negara lainnya.
"Kalau kita lambat bergerak, maka kita akan tertinggal dari negara yang lain," kata Hanif Dhakiri.
Baca: Mennaker Hanif Dhakiri Bantah Ada MoU Pengiriman 30 Ribu TKI ke Arab Saudi
Saat ini regulasi tersebut dianggap memberatkan kaum perempuan, lantaran kesibukan perempuan dewasa bukan hanya berkarir namun juga mengurus kebutuhan keluarga.
Regulasi yang menetapkan aturan 8 jam per hari dalam bekerja, dinilai tidak fleksibel bagi kaum perempuan yang bekerja namun telah berumahtangga.