Bamsoet Dukung Langkah PWI Bentuk Masyarakat dan Pers Pemantau Pemilu
"Pers yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, bahkan sampai ke pelosok desa, merupakan kekuatan sosial yang harus dimanfaatkan," ucap Bamsoet
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mendukung langkah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) membentuk Masyarakat dan Pers Pemantau Pemilu (MAPILU).
Dalam keterangan pers yang diterima, keaktifan berbagai elemen bangsa dalam memantau jalannya Pemilu akan berdampak positif terhadap perkembangan demokrasi di Tanah Air.
Baca: Bamsoet Prihatin Pindahkan Kuburan Gara-gara Beda Pilihan Politik
"Pers yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, bahkan sampai ke pelosok desa, merupakan kekuatan sosial yang harus dimanfaatkan dalam memantau jalannya Pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu menjalin kerjasama dengan pers," ujar Bamsoet saat menerima perwakilan Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI Pusat), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Dewan Pers, di ruang kerja Ketua DPR RI, Jakarta, Rabu (16/1/2019).
Hadir dalam pertemuan tersebut antara lain, Ketua Umum PWI Pusat Atar Depari, Sekretaris Jenderal PWI Pusat Mirza Zulhadi, Ketua PWI Pusat Bidang Luar Negeri Abdul Aziz, Ketua Umum IJTI Yadi Hendriana, Wakil Ketua IJTI Ratna Komala, anggota Dewan Pers Agus Sudibto serta Ketua Bidang Diklat, Kompetensi, dan Sertifikasi IJTI Jamalul Insan. Bamsoet ditemani Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Masinton Pasaribu dan Anggota Fraksi Partai Nasdem DPR RI Ahmad Sahroni.
Legislator Partai Golkar Dapil VII Jawa Tengah yang meliputi Kabupaten Purbalingga, Banjarnegara dan Kebumen ini menambahkan, selain KPU dan Bawaslu, masyarakat umum juga bisa memanfaatkan pers sebagai ‘mata elang’ yang bisa melihat bagaimana pelaksanaan Pemilu di lapangan.
Dengan demikian para peserta Pemilu maupun kandidatnya akan menjalankan kampanye sesuai aturan.
"Disisi lain, pers juga harus memperkuat independesi dirinya dalam menyajikan pemberitaan. Jangan ada berita bohong atau hoax diantara kita. Yang benar katakan benar, yang salah katakan salah. Jangan ada framing dengan narasi yang bombastis sehingga mengaburkan fakta dan membuat masyarakat bingung dalam menilai sebuah kejadian," tutur Bamsoet.
Sebagai mantan wartawan, Bamsoet yang kini juga menjabat sebagai Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini memahami betul tekanan, bahkan ancaman, yang dihadapi insan pers.
Ada saja pihak-pihak yang menggunakan berbagai kekuatannya untuk mengintervensi sebuah pemberitaan.
"Pers harus senantiasa memegang teguh prinsip bahwa menyajikan sebuah fakta lebih penting ketimbang mengembangkan bisnis media. Pers harus senantiasa menjadi watchdog untuk menjaga iklim demokrasi tetap kondusif. Bukan malah menjadi bagian yang merongrong demokrasi," tegas Bamsoet.
Dalam pertemuan tersebut, Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini juga mendukung usulan Dewan Pers, PWI dan IJTI tentang perlunya regulasi untuk membuat kehidupan media sosial menjadi lebih bertanggungjawab.
Tak seperti saat ini, kehidupan di media sosial seperti hutan rimba yang tidak jelas aturannya. Akibatnya, hoax, ujaran kebencian, maupun tindakan kejahatan digital lainnya bisa bebas berkeliaran di semua platform media sosial.
"Jika ini terus dibiarkan, bisa-bisa bangsa kita hanya sibuk saling memfitnah satu sama lain. Memang sudah waktunya ada aturan yang jelas untuk membuat pengelola serta pengguna media sosial lebih bertanggungjawab. Di Jerman sudah ada Undang-Undang tentang media sosial, Enforcement on Social Networks (NetzDG) yang dibentuk pada akhir Juni 2017. Keberadaan UU tersebut salah satunya untuk memerangi maraknya ujaran kebencian di media sosial. Bahkan, situs dan platform yang menyajikan berita hoax bisa di denda hingga 50 juta euro," jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum KADIN ini juga menyambut baik adanya usulan meningkatkan pendapatan negara melalui penarikan pajak terhadap pemuatan iklan digital di berbagai website.
Baca: Ini Kata Bamsoet soal Kisi-kisi Pertanyaan Debat Capres-Cawapres
Tidak hanya itu, penyedia layanan digital over the top seperti Google, Youtube, Facebook, Twitter yang beroperasi di Indonesia bisa dijadikan sebagai wajib pajak.
"Saat ini pemerintah mulai mengkaji menarik pajak dari e-commerce melalui Peraturan Menteri Keuangan 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Diharapkan peraturan yang efektif per 1 April 2019 ini bisa membuat ekosistem e-commerce di tanah air menjadi lebih sehat. Perlu dukungan pers untuk mensosialisasikan dan mensukseskannya," pungkas Bamsoet.