SETARA Institute : Penangkapan Robertus Robet Langgar Syarat Formil dan Materiil Penangkapan
"Tindakan polisional tersebut tidak memenuhi syarat materiil dan formil penangkapan sebagaimana ketentuan hukum acara pidana," katanya
Penulis: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - SETARA Institute menilai penangkapan Robertus Robet, Pejuang HAM dan Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) oleh polisi dilakukan secara sewenang-wenang, yang bertentangan dengan Rule of Law dan melanggar ketentuan Perundang-Undangan.
"Tindakan polisional tersebut tidak memenuhi syarat materiil dan formil penangkapan sebagaimana ketentuan hukum acara pidana, terutama Pasal 17 dan Pasal 19 Ayat (2) KUHAP," kata Direktur Riset SETARA Institute, Halili dalam keterangan persnya, Kamis (7/3/2019).
Baca: Aliansi Dosen UNJ: Penangkapan Robertus Robet Cederai Kebebasan Berekspresi
Kedua, penangkapan Robertus Robet merupakan pembungkaman atas kebebasan berpendapat di muka umum.
"Jika mengikuti secara utuh orasi Robertus Robet pada aksi Kamisan Kamis lalu yang mengusung salah satu agenda utama ‘Tolak Dwi Fungsi TNI’, pesan pokok yang ingin disampaikan bukan sikap memusuhi badan umum (dalam hal ini TNI seperti yang dituduhkan) apalgi menolak eksistensi TNI, seperti potongan video yang diviralkan di jagad maya," kata Halili.
Robertus Robet dan aktivis masyarakat sipil lainnya pada aksi tersebut menyampaikan pendapat dengan pesan inti untuk mendorong profesionalisme TNI dan menolak keterlibatan TNI dalam urusan-urusan sipil di luar Pasal 47 Undang-Undang Nomor 34 tentang 2004 tentang TNI.
Baca: Ditangkap Atas Dugaan Hina ABRI, Masa Lalu Robertus Robet Dibongkar Fahri Hamzah: Lawan yang Berat
Ketiga, Halili mengatakna dalam pandangan SETARA Institute, potongan video yang viral sama sekali tidak memuat bukti permulaan yang cukup sebagai dasar untuk melakukan tindakan penegakan hukum berupa penangkapan.
Lagu seperti yang dinyanyikan oleh Robet di tengah-tengah orasi hanyalah satir publik yang dibuat oleh para aktivis 1998 untuk mengritik dwifungsi dan kekejaman militer di masa lalu.
"Robet dan aksi massa pada Kamis lalu itu seharusnya dipandang sebagai bentuk kontrol masyarakat sipil untuk mengingatkan kita semua tentang pentingnya mengawal supremasi sipil dalam tata kelola demokrasi sesuai spirit zaman (zeitgeist) dan semangat rakyat (volkgeist) yang diperjuangkan gerakan reformasi 1998," kata Halili.
SETARA Institute mendesak TNI dan Polri untuk memelihara spirit dan komitmen penegakan supremasi sipil dalam demokrasi, dengan tidak memusuhi dan menumbalkan para aktivis masyarakat sipil yang secara konsisten mengusung aspirasi dan mengawal tegaknya supremasi sipil dalam tata demokrasi Indonesia.
Dalam konteks 'kasus Robet', SETARA Institute juga mendesak TNI dan Polri untuk menjamin hak, keamanan, dan keselamatan Robet, sebab perkembangan lalu lintas komunikasi di media sosial hari ini telah mengarah pada provokasi-provokasi yang memuat ancaman terhadap integritas fisik dan personal Robet.
"Elit politik nasional yang sedang berkontes jelang Pemilu dan Pilpres 2019 hendaknya tidak melakukan politisasi atas 'kasus Robet' dan Aksi Tolak Dwi Fungsi TNI pada umumnya, dengan instrumentasi politik identitas dan narasi-narasi yang mengarah pada konservatisasi keagamaan dan etnonasionalisme, untuk kepentingan politik elektoral," kata Halili.
Baca: Usman Hamid : Polisi Harusnya Lindungi Robertus Robet
Diketahui, Robertus Robet ditangkap di rumahnya pada Kamis (7 Maret 2019) dini hari untuk dibawa ke Mabes Polri di Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Penangkapan tersebut diduga berkaitan dengan viralnya potongan video Aksi Tolak Dwi Fungsi TNI pada Kamis (28 Maret 2019).