Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kisah Bripka Bastian Tuhuteru Mengentas Anak-anak Buta Huruf Pedalaman Pulau Buru

Walapua adalah satu dari sejumlah kampung di daerah itu yang masih terisolasi. Jaraknya dari ibu kota Kabupaten Buru Selatan, sekitar 20 kilometer.

Editor: Choirul Arifin
zoom-in Kisah Bripka Bastian Tuhuteru Mengentas Anak-anak Buta Huruf Pedalaman Pulau Buru
Kompas/Fransikus Pati Herin
Brigka Bastian Tuhuteru 

Benar apa yang pernah diucapkan oleh tokoh revolusioner Afrika Selatan, Nelson Mandela, “Jika Anda berbicara kepada seseorang menggunakan bahasa yang ia pahami, maka kata-kata Anda hanya akan masuk ke kepalanya. Namun jika Anda berbicara dengan bahasanya, maka kata-kata Anda akan masuk ke dalam hatinya.”

Setiap kali saya mengajar, banyak orang tua ikut hadir dan mengawasi, jangan sampai saya menyebarkan agama. Saya yakinkan mereka bahwa saya ini polisi Republik Indonesia, bukan polisi Kristen atau polisi Islam

Warga kampung yang mulai percaya kepada Bastian akhirnya memperkenankan Bastian mengajarkan baca-tulis kepada anak-anak di sana dengan catatan tidak boleh menyebarkan agama.

“Meski begitu, mereka sepertinya belum yakin. Setiap kali saya mengajar, banyak orang tua ikut hadir dan mengawasi, jangan sampai saya menyebarkan agama. Saya yakinkan mereka bahwa saya ini polisi Republik Indonesia, bukan polisi Kristen atau polisi Islam,” katanya.

Setelah mendapat restu dari para tetua, Bastian lalu ke Namrole untuk membeli peralatan ajar seperti kertas, spidol, poster angka, dan huruf.

Tak lupa beberapa bungkus permen untuk oleh-oleh sekaligus penarik bagi anak-anak. Dengan memberikan permen atau mengajak berboncengan sepeda motor, anak-anak pedalaman sangat senang. Setiap kali mendengar bunyi sepeda motor menuju kampung, anak-anak akan berlari menjemputnya.

Pada awalnya mereka belajar di tenda darurat. Di bawah terpal tanpa dinding itu Bastian mulai memperkenalkan huruf dan angka. Mengajari mereka menulis dan menggambar serta menyanyi lagu “Indonesia Raya” dan menghafal sila-sila Pancasila.
Setelah dari tenda mereka pindah ke salah satu rumah warga. Ia lalu mengajak warga untuk membangun sekolah darurat berukuran 6 meter x 5 meter.

Berita Rekomendasi

Melihat semangat anak-anak dan warga di sana, Bastian menginginkan agar sekolah darurat itu menjadi cikal bakal lahirnya sekolah. Ia lalu mendekati Dinas Pendidikan Kabupaten Buru Selatan untuk meminta dukungan.

Ia mengajukan izin sekolah dan meminta dinas menempatkan guru di sana. Tahun lalu, sekolah itu diresmikan. Kini sekolah itu memiliki tiga angkatan dengan jumlah siswa 40 orang. Seorang guru merangkap kepala sekolah ditugaskan di sana.

"Saya sudah senang sekali karena sudah ada guru. Sekarang kalau ke kampung itu, anak-anak sudah menyapa dengan ucapan seperti selamat pagi, selamat siang, dan terima kasih. Di dinding rumah mereka banyak coretan," kata bastian.

"Mereka menulis nama mereka, nama orangtua, dan juga menggambar gunung dan hewan. Saya terharu melihat semua itu,” imbuhnya.

Selain mengajar di kampung itu, Bastian juga mengajar anak-anak di beberapa kampung lain di Pulau Seram dan wilayah lain pedalaman Pulau Buru saat ada penugasan khusus. Bahkan, ia juga mengajar lansia.

Nalurinya sebagai seorang guru selalu muncul bila melihat anak-anak di pedalaman tidak mengenyam pendidik.

Di tas ranselnya, dia selalu membawa serta pena, kertas, dan tentu saja permen. Biaya yang dikeluarkan untuk mengajar di pedalaman itu ia sisikan dari penghasilannya.

Halaman
123
Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas