Panggilan Jiwa Sonya Maramis Menjadi Penerjemah Bahasa Isyarat
Sonya Maramis namanya. Karirnya sebagai Purchasing Manager di perusahaan mebel cukup menjanjikan.
Penulis: Nurul Hanna
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Sonya Maramis namanya. Karirnya sebagai Purchasing Manager di perusahaan mebel cukup menjanjikan. Namun, ia tetap menggeluti pekerjaannya sebagai juru bahasa isyarat.
Baginya, menjadi juru bahasa isyarat adalah panggilan jiwa. Sonya telah menjadi juru bahasa isyarat untuk program berita di enam stasiun televisi berbeda. Ia juga menjadi juru bahasa isyarat di Debat Pilpres 2019.
Tribun berkesempatan mewawancarai Sonya Maramis yang dikenal sebagai perempuan tegas. Berikut petikan wawancaranya:
Apa pekerjaan utama Anda?
Selain juru bahasa isyarat, ada pekerjaan tetap saya. Saya karyawan di Mahakarya Warisan Nusantara. Kenapa (menjadi) juru bahasa isyarat, sifatnya menjadi seperti side job, karena kestablian dari juru bahasa isyaratnya sendiri yang saat ini itu belum menjadi permanen job.
Sejak kapan mempelajari bahasa isyarat?
Saya belajar bahasa isyarat tahun 2011. Itu juga kebetulan, dulu tante saya sudah belajar bahasa isyarat. Sebelum 2011 saya sudah diajak tante saya tapi saya nggak pernah mau. Suatu saat tahun 2011, saya kecelakaan motor yang menyebabkan patah tulang di kaki sebelah kiri.
Saat itu saya untuk penyembuhannya harus istirahat, nggak boleh bergerak, harus pakai kursi roda supaya penyembuhannya bisa sempurna. Terus saya merasa terpuruk, karena begitu kita ada di kursi roda, mikirnya (selalu) kapan kita bisa jalan
Dalam keadaan terpuruk itu, tante saya bilang, begini deh daripada kamu berpikir bahwa kamu sudah tidak bisa jalan, pikir saja begitu terus, selamanya, anggap saja kamu sudah seperti itu. Saya bawa deh kamu ke perkumpulan disabilitas.
Jadi saya mencoba menerima diri saya keadaannya sudah seperti ini. Begitu sampai ke perkumpulan disabilitas saya lihat kan, aduh. Teman teman disablitias dengan segala apa yang dia punya dia bisa tampil maksimal kenapa saya enggak kok saya harus terpuruk seperti ini.
Padahal banyak yang bisa saya lakukan, walaupun kita sebagai disabilitas. Akhirnya saya bilang ke tante saya. Ya sudah, saya mau deh belajar bahasa isyarat.
Pengalaman pertama ibu sebagai juru bahasa isyarat?
Waktu itu seminar yang butuh bahasa isyarat, tapi nggak ada orang yang bisa membantu (sebagai juru bahasa isyarat). Itu saya baru 3 bulanan belajar, saya nggak pede. Pertama, saya dengan kursi roda. Guru tuli saya yang dorong saya. Bersama dia saya duduk. Awalnya sampai saya benar benar mual, pusing.
Karena grogi?
Nggak cuma saya, banyak juru bicara yang kalau ditanya pengalaman pertama kali bagaimana, mabok. Karena otaknya dipaksa untuk mendengar dan memvisualiasikan.
Sulitnya menjadi juru bahasa isyarat, selain menerima informasi berupa suara dan mengubahnya menjadi gerakan isyarat?
Bahasa isyarat Indonesia itu, masih belum baku, masih berkembang terus. Makanya kalau di TV itu kita nggak bekerja sendirian. Kita satu tim ada 3 orang, dua juru bahasa isyarat satu guru tuli.
Pentingnya guru tuli adalah unthk memverivikasi apakah, yang kita sampaikan tepat atau tidak. Kalau belum tepat, dia akan merevisi bentuk benarnya seperti ini. Jadi kita duduknya (posisi kursi membentuk) segitiga, ada petugas yang terjemahkan, ada yang disebut tendemnya juru bahasa isyarat dan satunya lagi penasihat isyarat tuli.
Jadi sistem segitiga ini, jadi misalnya saya nggak tahu unicorn. Sampai ke temen saya, tendem, dia nggak bisa bilang unicorn karena kan si tuli ini juga nggak ngerti dia harus langsung google apa sih unicon.