Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pengaju Pemilu Serentak Berduka Cita atas Meninggalnya Petugas KPPS, Panwaslu dan Polri

Effendi Gazali merupakan Pengaju Judicial Review Pemilu Serentak ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2014 lalu.

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Pengaju Pemilu Serentak Berduka Cita atas Meninggalnya Petugas KPPS, Panwaslu dan Polri
Amriyono Prakoso/Tribunnews.com
Effendi Ghazali 

Dan kedua, Pemilu Daerah serentak memilih Kepala Daerah, DPRD tingkat provinsi, dan DPRD tingkat kabupaten/kota.

"Hal itu telah berkali-kali kami diskusikan dan sampaikan ke media bersama berbagai unsur Civil Society. Bahkan juga kami sampaikan kemudian saat peluncuran buku Mendagri Tjahjo Kumolo tentang “Dasar Hukum Pilkada Serentak” di Kemendagri, 1 Desember 2015," ungkapnya.

Namun, ternyata Pembentuk Undang-Undang tidak kunjung membuat kodifikasi tersebut. Berbagai masukan yang ia sampaikan lewat media maupun datang langsung ke DPR seperti terbuang percuma. Misalnya, soal definisi dan masa “kampanye”.

Hal lain yang menghabiskan banyak waktu, bahkan sampai diwarnai walk-out berbondong-bondong pada malam paripurna pengesahan UU Pemilu, adalah soal Presidential Threshold (ambang batas persyaratan mengajukan calon presiden). Apakah 0 persen, 10 persen, atau 20 persen? Akhirnya setelah diwarnai voting, UU Pemilu disahkan 21 Juli 2017, dini hari.

"Ambang batas pencalonan presiden ditetapkan 20 persen dan diambil dari pemilu legislatif 5 tahun sebelumnya. Inilah satu-satunya pemilu serentak di dunia yang memakai Presidential Threshold yang diambil dari pemilu legislatif sebelumnya!" tegasnya.

Jelas dalam aturan Presidential Threshold ini sangat kentara keinginan memperoleh atau mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara yang tidak apik. Yang dibatasi adalah kompetitor tidak boleh masuk dalam kompetisi.

Dengan adanya presidential threshold, paling banyak satu pasangan kompetitor yang dapat masuk, dan itupun kalau bisa kompetitor yang paling lemah.

Berita Rekomendasi

"Tapi mereka lupa bahwa jika hanya dua pasangan capres maka konfliknya bisa menuju 100 persen," jelasnya.

Apa akibat selanjutnya? Nasib yang tak dapat ditolak menurut dia, Pemilu Serentak 2019 datang di tengah kejamnya media sosial.

Maka sebagian besar energi bangsa habis untuk menganalisis, menengahi, atau mengajukan tuntutan di seputar hoaks.

Waktu KPU, Bawaslu, dan banyak aparat negara, serta para politisi, imbuh dia, habis digunakan untuk memberantas hoaks.

"Mulai dari 7 kontainer surat suara sudah tercoblos, server KPU yang sudah disetting sedemikian rupa di luar negeri, serta aneka ujaran kebencian dan pencemaran! Sangat sedikit kita dengar waktu, tenaga, energi yang digunakan untuk sosialisasi dan simulasi apa yang akan terjadi pada Pemilu Serentak," paparnya.

Lima tahun dan dua bulan lebih, kata dia, bukan waktu yang pendek untuk menyosialisasikan bahkan mengadakan beberapa kali simulasi, sehingga akan tahu persis bagaimana akibatnya bagi publik yang memilih, KPPS, Panwas, polisi, dan pihak-pihak terkait pada hari saat Pemilu Serentak benar-benar dilaksanakan.

"Jika kita tiba-tiba terkejut dengan apa yang terjadi, maka itu berarti sosialisasi dan simulasi kita telah gagal atau tidak memberikan gambaran yang sebenarnya," jelasnya.

Jadi, kalau berpikir secara jernih, dia menilai, harusnya hal-hal ini yang harus diperbaiki di masa depan. Jelaslah lebih baik dilaksanakan Pemilu Nasional Serentak, yakni Presiden, DPR, DPD terpisah dengan Pemilu Daerah Serentak (Kepala Daerah. DPRD tingkat 1, DPRD tingkat 2).

"Misal, dengan jarak 2,5 tahun atau di tengah-tengah antara dua jenis pemilu serentak ini," dia mencontohkan.(*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas