Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Jaksa Akan Tanggapi Pendapat Kuasa Hukum Ratna Sarumpaet Dalam Analisis Yuridis

Jaksa enggan menanggapi secara langsung pendapat kuasa hukum terdakwa kasus dugaan penyebaran berita bohong atau hoax Ratna Sarumpaet.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Jaksa Akan Tanggapi Pendapat Kuasa Hukum Ratna Sarumpaet Dalam Analisis Yuridis
Gita Irawan/Tribunnews.com
Terdakwa kasus dugaan penyebaran berita bohong atau hoax yang menerbitkan keonaran, Ratna Sarumpaet, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Kamis (25/4/2019). 

Laporan Wartawan Tribhnnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kordinator Jaksa Penuntut Umum Daru Tri Sadono enggan menanggapi secara langsung pendapat kuasa hukum terdakwa kasus dugaan penyebaran berita bohong atau hoax Ratna Sarumpaet.

Kuasa hukum Ratna Sarumpaet menyebut empat ahli yang dihadirkan jaksa dalam persidangan kliennya tidak bisa membuktikan unsur keonaran seperti dalam pasal yang didakwakan.

Daru Tri Sadono mengatakan tanggapan terkait hal tersebut akan disampaikan dalam analisis yuridis pihaknya.

Baca: Ahli Sosiologi di Sidang Ratna Sarumpaet Sebut Keonaran di Medsos Juga Terjadi di Dunia Nyata

"Tanggapan kami nanti akan kami sampaikan dalam analisis yuridis kami. Kan hal yang sangat wajar pihak terdakwa pasti akan menyampaikan versi yang menguntungkan baginya," kata Daru di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (25/4/2019).

Menurutnya, kuasa hukum Ratna Sarumpaet memiliki hak untuk mengatakan pendapatnya.

Ia juga merasa tidak perlu menanggapi hal tersebut lebih jauh secara langsung.

Berita Rekomendasi

"Tidak apa-apa. Itu kan kata terdakwa, tak perlu ditanggapi lebih jauh lagi. Nanti kami jelaskan dalam analisis yuridis," kata Daru.

Baca: Ratna Sarumpaet Komentari Ahli Bahasa dan Digital Forensik

Sebelumnya, kuasa hukum terdakwa kasus dugaan penyebaran berita bohong atau hoax yang menerbitkan keonaran, Insank Nasruddin mengaku puas dengan kesaksian empat ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (25/4/2019).

Hal itu karena pendapat para ahli yang dihadirkan jaksa tidak dapat menjelaskan bahwa demonstrasi sekelompok orang yang menuntut ditangkapnya pelaku penganiayaan Ratna Sarumpaet di Jakarta sebagai sebuah keonaran.

Baca: Ahli Pidana Ungkap Sejarah Dibuatnya Pasal yang Didakwakan ke Ratna Sarumpaet

"Kami sangat puas di persidangan ini. Harusnya saksi yang dihadirkan adalah saksi yang sangat memberatkan. Tapi demonstrasi itu bukan sebuah keonaran. Itu yang jadi poin. Makanya untuk lebih gamblangnya lagi pada saat kesaksian ahli kami," kata Insank usai sidang.

Ahli bahasa dicecar

Ahli bahasa yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum dalam sidang tersangka kasus dugaan penyebaran berita bohong yang mengakibatkan keonaran Ratna Sarumpaet, Dr Wahyu Wibowo, dicecar pertanyaan terkait makna dari frasa "penyiaran berita bohong" dan "keonaran" oleh Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim, dan Pengacara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Kamis (25/4/2019).

Di awal tanya jawabnya dengan Hakim Ketua Joni, Wahyu menjelaskan bahwa bidang ilmu yang dikuasainya adalah filsafat bahasa. 

Baca: Dikabarkan Lolos Jadi Anggota DPR, Surat Ahmad Dhani dari Penjara Viral di Medsos

Ia menjelaskan, secara hakikat filsafat bahasa berbeda dengan linguistik atau ilmu bahasa dari segi subjek keilmuan. 

Wahyu menjelaskan, filsafat bahasa lebih cenderung memeriksa makna bahasa sedangkan linguistik lebih cenderung memeriksa bentuk bahasa. 

"Dalam pengertian keilmuan dibedakan dengan linguistik. Filsafat bahasa lebih mengarah kepada makna bahasa sehubungan dengan kehidupan. Linguistik berkaitan dengan bentuk-bentuk bahasa. (Filsafat bahasa) terkait penggunaan bahasa pada masayarakat, pada konteksnya," kata Wahyu di Pengailan Negeri Jakarta Selatan pada Kamis (25/4/2019).

Ahli bahasa yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum dalam sidang tersangka kasus dugaan penyebaran berita bohong yang mengakibatkan keonaran Ratna Sarumpaet, Dr Wahyu Wibowo, dicecar pertanyaan terkait makna dari frasa
Ahli bahasa yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum dalam sidang tersangka kasus dugaan penyebaran berita bohong yang mengakibatkan keonaran Ratna Sarumpaet, Dr Wahyu Wibowo, dicecar pertanyaan terkait makna dari frasa "penyiaran berita bohong" dan "keonaran" oleh Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim, dan Pengacara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Kamis (25/4/2019). (Tribunnews.com/Gita Irawan)

Baca: Soal Ahli Digital Forensik yang Dihadirkan JPU, Ratna Sarumpaet: Kalau Dari Jaksa Memberatkan Dong

Wahyu menjelaskan, sejumlah hal yang perlu disoroti untuk mencari makna dalam perspektif filsafat bahasa antara lain, penutur, tuturan (bentuk), penerima tuturan (audien), reaksi dari penerima tuturan (kesan), dan situasi saat proses komunikasi itu terjadi (konteks). 

Wahyu juga mengatakan profil penutur dan konteks akan menentukan kesan atau reaksi.

Terkait hal tersebut, menurut Wahyu bahasa juga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi penerima tuturan terlebih jika penutur adalah seorang tokoh publik. 

Terkait frasa "penyiaran berita bohong", Wahyu berpendapat penyiaran informasi yang mengandung sesuatu yang tidak benar bisa dilakukan oleh satu orang ke satu orang lain.

Terkait dengan kata "keonaran", Wahyu berpendapat keonaran tidak berarti harus mengakibatkan keributan fisik. 

Menurutnya, dalam filsafat bahasa onar bermakna membuat orang bertanya-tanya, gaduh, heran, atau menimbulkan pro kontra. 

Ia mengatakan, pada awalnya dua orang saja sudah cukup untuk dikatakan terlibat dalam keonaran meski dalam perkembangannya membutuhkan lebih banyak orang. 

"Dalam konteks ini tidak berarti harus ada keributan fisik. Onar bisa saja membuat bertanya-tanya, gaduh, heran, dalam konteks filsafat bahasa seperti itu. Dalam konteks filsafat bahasa itu (pro kontra adalah) onar. Awalnya dua (orang) saja cukup tapi dalam perkembangannya harus melibatkan banyak orang," kata Wahyu. 

Wahyu menolak ketika ditanya pengacara Ratna makna dua kata tersebut dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1946 pasal 14.

Menurutnya, sebagai ahli bahasa ia tidak berkapasitas menafsirkan makna Undang-Undang mengingat bahasa dalam Undang-Undang memiliki norma yang mengikat sendiri.

"Saya tidak bisa memberikan pendapat saya soal Undang-Undang. Itu ada normanya sendiri," kata Wahyu. 

Joni pun setuju dengan Wahyu dan meminta pengacara mengganti pertanyaannya. 

JPU juga sempat mencecar Wahyu dengan pertanyaan terkait fakta konferensi pers pengakuan Ratna pada sehingga Joni harus berulang kali menegur JPU untuk tidak mengaitkannya langsung ke fakta kasus. 

"Coba kasih pertanyaan yang lebih bebas. Soal fakta biar kami (majelis hakim) yang menilainya. Ahli ini dihadirkan untuk diminta pendapatnya," kata Joni kepada JPU. 

Di akhir tanya jawab dengan ahli dengan para JPU, Hakim, dan pengacara terdakwa, Ratna tidak memberikan tanggapan apa pun terkait pendapat ahli. 

Diketahui sebelumnya Ratna didakwa melanggar Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana dan Pasal 28 Ayat (2) Jo Pasal 45 A Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Berikut kutipan lengkap Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 Pasal 14 ayat 1.

"Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun."

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas