Ini Alasan Setya Novanto Ajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Penasihat Hukum Setya Novanto Maqdir Ismail, mengungkapkan alasan mengapa kliennya mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK).
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Sanusi
![Ini Alasan Setya Novanto Ajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/setya-novanto-bersaksi-di-sidang-sofyan-basir_20190812_210810.jpg)
Melalui pengajuan PK itu, dia mengharapkan agar kliennya dapat diputus bebas.
"Bebaslah, kami menyatakan dakwaan itu tidak terbukti dan dakwaan yang dianggap terbukti itu dakwaan yang salah," tambahnya.
Untuk diketahui, Setya Novanto divonis 15 tahun penjara serta diwajibkan membayar denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan di tingkat pertama atau Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Selain itu, hakim Pengadilan Tipikor juga mengganjar Setnov membayar uang pengganti sebesar USD 7,3 juta yang apabila tidak dibayarkan maka harta bendanya akan disita dan dilelang. Jika hartanya tidak mencukupi, maka akan diganti pidana 2 tahun penjara.
Atas putusan tersebut, Setya Novanto maupun jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mengajukan banding.
Baca: Irjen Antam Novambar Mengaku Tidak Dendam dengan Eks Penyidik KPK Endang Tarsa
Baca: Pablo Benua Dipenjara, Arie Untung Tetap Tagih Uang 600 Juta yang Digelapkan Suami Rey Utami
Berdasarkan aturan PK, Setnov diperbolehkan mengajukan upaya hukum luar biasa yakni PK walaupun tidak mengajukan upaya hukum banding dan kasasi.
Setnov sendiri telah menjalani masa hukuman sekitar satu tahun setelah divonis bersalah karena terbukti melakukan korupsi proyek pengadaan e-KTP yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 2,3 triliun.
Belum Bayar Lunas
Terpidana kasus korupsi pengadaan paket e-KTP, eks Ketua DPR Setya Novanto belum melunasi uang ganti rugi perkara yang menjeratnya.
Padahal, dalam sidang vonis yang digelar pada April 2018 lalu, Setnov--sapaan karibnya--dijatuhi vonis 15 tahun penjara.
Ia diharuskan membayar denda Rp500 juta dan hak politiknya dicabut selama lima tahun usai ia menyelesaikan masa hukumannya.
Selain itu, ia juga diwajibkan membayar uang pengganti senilai USD7,3 juta atau setara Rp106 miliar (dengan menggunakan kurs saat ini). Uang itu diwajibkan untuk dibayarkan ke negara maksimal satu bulan usai putusannya berkekuatan hukum tetap. Apabila tidak dipatuhi, maka aset-asetnya akan disita oleh negara dan dilelang.
Baca: Anggaran Formula E Membengkak, Ini Penjelasan Ketua DPRD Jakarta
Kini, satu tahun kemudian, Setnov belum juga melunasi uang pengganti tersebut. Bahkan, ia memilih untuk mencicil pembayaran uang pengganti tersebut.
Menurut catatan KPK, bekas Ketua Umum Partai Golkar itu sudah lima kali mencicil, baik dengan uang tunai maupun aset.