Praperadilan Eks Dirut Jasa Tirta II Ditolak Hakim, Status Tersangka KPK Tetap Berlaku
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menolak praperadilan mantan Direktur Utama Perum Jasa Tirta II Djoko Saputro.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Fajar Anjungroso
"Tetap terus dilakukan dan segera melimpahkan ke penuntutan saat penyidikan selesai," kata dia.
Kasus ini berawal ketika Djoko Saputra dilantik sebagai Dirut BUMN pengelola Waduk Jatiluhur pada tahun 2016 lalu. Ia diduga memerintahkan dilakukannya relokasi anggaran di Perum Jasa Tirta II.
Baca: KPK Tahan Mantan Dirut Perum Jasa Tirta II Djoko Saputro
Atas perintah itu, revisi anggaran kemudian dilakukan dengan mengalokasikan tambahan anggaran pada dua pekerjaan Pengembangan SDM dan Strategi Korporat. Diketahui anggaran awal yang tadinya hanya senilai Rp2,8 miliar bertambah menjadi Rp9,55 miliar.
Keduanya adalah Perencanaan Strategis Korporat dan Proses Bisnis senilai Rp3.820.000.000 dan Perencanaan Komprehensif Pengembangan SDM PJT II sebagai Antisipasi Pengembangan Usaha Perusahaan senilai Rp5.730.000.000.
Perubahan tersebut diduga dilakukan tanpa adanya usulan dari unit lain dan tidak sesuai aturan yang berlaku. Setelah melakukan revisi terhadap anggaran, Djoko Sap pun diduga memerintahkan pelaksanaan pengadaan kedua kegiatan tersebut dengan menunjuk Andririni Yaktiningsasi sebagai pelaksana pada kedua kegiatan tersebut.
Andririni yang juga ditetapkan sebagai tersangka, diduga menggunakan bendera perusahaan PT BMEC dan PT 2001 Pangripta.
Realisasi penerimaan pembayaran untuk pelaksanaan proyek sampai dengan tanggal 31 Desember 2017 untuk kedua pekerjaan tersebut adalah Rp5.564.413.800.
Rinciannya adalah untuk Pekerjaan Komprehensif Pengembangan SDM PJT II sebagai Antisipasi Pengembangan Usaha Perusahaan sebesar Rp3.360.258.000 dan untuk Perencanaan Strategis Korporat dan Proses Bisnis sebesar Rp2.204.155.8410.
KPK menduga pelaksanaan lelang dilakukan menggunakan rekayasa dan formalitas dengan membuat penanggalan dokumen administrasi Ielang secara backdate atau penanggalan mundur.
Tak hanya itu, KPK pun menduga nama-nama para ahli yang tercantum dalam kontrak hanya dipinjam dan dimasukkan ke dalam dokumen penawaran PT BMEC dan PT 2001 Pangripta sebagai formalitas untuk memenuhi administrasi lelang.
KPK menyebut kerugian negara yang timbul dari perbuatan Djoko dan Andririni tersebut adalah sekitar Rp3,6 miliar. Perhitungan kerugian itu merupakan dugaan yang berasal keuntungan yang diterima Andririni Yaktiningsasi dari kedua pekerjaan tersebut atau setidaknya lebih dari 66 persen dari pembayaran yang telah diterimanya.