Terkait Istilah Manipulator Agama yang Diusulkan Presiden Jokowi, Wasekjen MUI Sebut Tidak Tepat
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengusulkan istilah radikalisme diganti menjadi manipulator agama.
Penulis: Nanda Lusiana Saputri
Editor: Fathul Amanah
Amirsyah juga menyoroti soal argumentasi yang dibangun oleh menteri agama soal pelarangan penggunaan cadar adalah bagian dari keamanan.
Hal tersebut terkait dengan kasus penusukan yang dialami mantan Menkopolhukam Wiranto.
Menurut Amirsyah, jika diksi yang dipakai terorisme, persoalan tersebut sudah menjadi perosalan internasional.
"Persoalan teroris ini sudah menjadi persoalan dunia internasional yang menakutkan, bagi saya tidak adil jika ini digeneralisasi sehingga menuduh kelompok-kelompok tertentu," ujar Amirsyah.
Konsep Radikalisme dan Istilah Manipulator Politik
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menegaskan radikalisme tidak tertuju pada kelompok agama tertentu.
Siapapun yang ingin melawan ideologi negara, bisa masuk dalam kategori radikalisme.
Bahkan Mahfud sampai mengusulkan istilah 'manipulator agama' lantaran sebutan radikalisme kerap diidentikan dengan agama tertentu.
Pertama, menyangkut subjek radikalisme yang mana bukan dari penganut agama tertentu.
Meskipun kebetulan kebanyakan pelakunya adalah orang penganut agama tertentu.
Tetapi dalam proses di pengadilan, bukti jelas bahwa telah melakukan tindakan yang disebut radikal atau penganut paham radikalisme.
Kedua, karena subjeknya tidak tertuju pada penganut agama tertentu maka perlu dicari sebutan lain.
"Kemarin presiden mengusulkan, meskipun tidak menjadi keputusan tetapi sekadar memberi ilustrasi," ujar Mahfud.
"Presiden mengatakan bahwa penganut radikal memang bukan agama tertentu sehingga mungkin perlu dicari sebutan lain. Sebutan lain itu misalnya, manipulator agama," tutur Mahfud.