Reuni 212 Dapat Tanggapan Kontra 3 Tokoh Ini, Guntur Romli: Kegiatan Politik Gunakan Idiom Agama
Aksi Reuni 212 mendapatkan tanggapan kontra dari tiga tokoh. MUI Jabar hingga Guntur Romli sebut reuni 212 kegiatan politik yang gunakan idiom agama.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Tiara Shelavie
Direktur Lembaga Pemilihan Indonesia (LPI)
Direktur Lembaga Pemilihan Indonesia (LPI) Boni Hargens menilai Reuni 212 merupakan gerakan oposisi politik.
Diberitakan sebelumnya oleh Tribunnews yang mengutip Warta Kota, pendapat tersebut berdasar pada sisi historis, waktu, dan wacana serta narasi yang dibuat.
Boni Hargens menuturkan dari aspek sejarah Gerakan 212 bermula dari kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
"Ahok waktu itu (2016) sedang berkampanye politik melawan pasangan Anies-Sandi. Ahok adalah pasangan terkuat dalam berbagai survei independen," ujar Boni Hargens dalam diskusi 'Reuni 212: Gerakan Moral atau Politik?', di Gado-Gado Boplo Satrio, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (1/12/2018)
Keadaan politik berbalik manakala Ahok mengutip ayat suci Al-Maidah.
"Inilah titik masuk bagi lawan politik untuk menyerang secara sistematis, dan pada akhirnya Ahok kalah dalam pemilihan yang digelar awal 2017," sambungnya.
Kata Boni Hargens, dari aspek historis, 212 adalah gerakan politik yang bercampur gerakan moral.
Boni Hargens mengungkapkan dari segi waktu, Gerakan 212 semakin aktif menjelang pemilu 2019.
"Berdasarkan apa yang kami amati, menunjukkan bahwa Komunitas 212 memang telah menjadi gerakan kampanye politik yang tidak bisa lagi dianggap sebagai perjuangan moral murni."
"Eskalasi gerakan yang seiring dengan momen kampanye politik yang semakin mendekati waktu pemilihan 2019, mensinyalir 212 sebagai gerakan oposisi yang bertujuan meraih kekuasaan," tuturnya.
Boni Hargnes menegaskan narasi yang dibangun oleh elite PA 212, yakni membangun propaganda di media sosial dan di media mainstream, merupakan narasi kekuasaan.
"Wacana yang diangkat pada umumnya adalah kritik dan serangan terhadap pemerintah dan institusi negara yang saat ini bekerja," ujarnya.
Menurutnya, gerakan 212 telah menjadi gerakan oposisi politik yang memperjuangkan kekuasaan dan menghendaki pemerintahan Presiden Jokowi berakhir di Pilpres 2019.