Laode M Syarif: UU KPK Lahirkan Pasal Kaget
Laode Muhammad Syarif, mempertanyakan terbitnya Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pada akhir masa jabatan, Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Laode Muhammad Syarif, mempertanyakan terbitnya Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut dia, setiap pembuatan Undang-Undang harus mengacu pada aturan pembentukan peraturan perundang-undangan. Dia mempertanyakan alasan penerbitan UU KPK hasil revisi.
"Proses pembuatan UU harus sesuai pembentukan peraturan perundang-undangan. Salah satu yang dibuat pertama, naskah akademik. (Undang-Undang,-red) KPK kemarin, naskah akademik tidak ada," kata dia, di kantor KPK, Jakarta Selatan, Kamis (19/12/2019).
Baca: Praktisi Hukum Kritik Kepemimpinan Agus Raharjo Selama di KPK
Dia menjelaskan setiap pembuatan undang-undang harus mempunyai landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis. Dia mempertanyakan alasan penerbitan UU tersebut.
Selain itu, dia mengaku, tidak ada pembahasan dengan pihak KPK untuk membahas aturan tersebut.
"(Dengan,-red) stakeholder tidak dibicarakan. Tiba-tiba muncul. Darimana alasan filosofis, alasan sosiologis, alasan ekonomis, alasan yuridis apa? Tidak jelas," kata dia.
Baca: KPK Masih Lakukan Penyadapan di Bawah UU 19/2019, Ada 300 Nomor Sudah Disadap
Sehingga, setelah terbitnya aturan itu, dia mengaku terdapat sejumlah pasal yang membuat kaget.
"Tiba-tiba UU KPK diubah, padahal tidak ada satu rekomendasipun mengubah UU KPK. Kami kaget-kagetan yang lahir pasal kaget di UU KPK," tambahnya.
Salah satu yang dia soroti terkait pembentukan Dewan Pengawas (Dewas) KPK.