Dunia Akui Laut Natuna Milik Indonesia, GAMKI Apresiasi Protes Pemerintah RI Atas Klaim China
Pernyataan ini disampaikan Frangky Darwin, Ketua Bidang Diplomasi dan Hubungan Internasional DPP GAMKI, di Jakarta.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dengan adanya informasi terkait masuknya kapal Coast Guard China ke perairan Natuna bagian Utara, menimbulkan reaksi keras dari pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Luar Negeri RI.
Hal ini menjadi perhatian bersama, bukan saja pemerintah tetapi juga bagi Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI).
Respon Pemerintah China melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mr. Geng Shuang.
Baca: Jokowi: Tidak Ada Tawar-Menawar terhadap Kedaulatan Indonesia
Dia mengatakan bahwa China mempunyai kedaulatan di Kepulauan Nansha dan mempunyai hak berdaulat dan yurisdiksi atas perairan-perairan terkait di dekat Kepulauan Nansha, termasuk Natuna.
Terkait pernyataan tersebut, DPP GAMKI melalui Bidang Diplomasi dan Hubungan Internasional, menanggapi secara diplomatis dengan mengatakan bahwa, Pemerintah China perlu menjelaskan secara detail kepada pemerintah Indonesia tentang dasar hukum dan batas-batas yang jelas perihal klaimnya di Zona Ekonomi Eksklusif berdasarkan UNCLOS 1982.
Pernyataan ini disampaikan Frangky Darwin, Ketua Bidang Diplomasi dan Hubungan Internasional DPP GAMKI, di Jakarta, Sabtu (4/1/2020).
"Klaim historis RRT atas ZEEI dengan alasan bahwa para nelayan China telah lama beraktivitas di perairan yang dimaksud bersifat sepihak atau unilateral, artinya tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982," ujarnya.
Menurutnya, klaim RRT atau China tidak berdasar karena wilayah perairan Indonesia telah ditetapkan oleh hukum internasional yaitu merujuk pada Konvensi PBB, UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) tahun 1982.
UNCLOS 1982 mengatur tentang 'Hukum Laut' yang terdiri dari tiga batas maritim; Laut Teritorial, Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). ZEE dikategorikan sebagai kawasan yang berjarak 200 mil dari pulau terluar.
"Di kawasan ZEE ini, Indonesia berhak untuk memanfaatkan segala potensi sumber daya alam yang ada. Tiongkok ikut terlibat dalam UNCLOS 1982 sehingga wajib mengikuti pelaksanaan konsensus bersama ini," tegas Frangky.
Frangky menambahkan, dengan adanya aktivitas pencurian ikan oleh beberapa kapal tangkap milik China, dan kemudian didapati kapal coast guard China yang ikut memantau aktivitas tersebut merupakan bentuk pelanggaran China terhadap Konvensi UNCLOS 1982.
"Perlu diketahui bersama, bahwa Indonesia tidak pernah akan mengakui nine dash line sepihak yang diklaim China saat ini, apalagi klaim tersebut tidak memiliki dasar hukum jelas dan tidak pernah diakui sama sekali oleh Indonesia," sambungnya.
Lebih lanjut, GAMKI mengapresiasi sikap protes pemerintah terhadap klaim sepihak China atas perairan Natuna, namun menghimbau kepada pemerintah agar tidak memperbesar persoalan ini.
"Pemerintah harus bersikap tegas, namun di sisi lain tidak perlu memperbesar persoalan ini. Karena pada hakekatnya dunia internasional mengakui wilayah perairan Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982," kata Frangky.
Maka persoalan ini, kata dia, seharusnya dapat diselesaikan melalui forum yang jauh lebih arif dan bijaksana, apalagi kepemilikan Indonesia atas Laut Natuna pada dasarnya tidak perlu dirundingkan lagi dengan pihak Tiongkok karena sudah final dan diakui internasional.
"Saran kami, perlu adanya koordinasi aktif lintas pemerintah terkait, seperti Kemenhan, Bakamla, TNI AL, Polri, mengenai sistim pengawasan dan pertahanan untuk memperkuat kedaulatan batas-batas teritorial negara, melalui penambahan armada atau kapal perang, personil coast guard, agar dapat melakukan pengawasan secara intens terhadap setiap aktivitas yang terjadi di perairan ZEEI," pungkasnya.