KPK: Penetapan Nurhadi Sebagai DPO Bukan Langkah yang Berlebihan
KPK tak melihat masuknya eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) sebagai sesuatu yang berlebihan.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Malvyandie Haryadi
"Sesuai ketentuan pasal 112 ayat (2) KUHAP (orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya), tkait dengan hal tersebut, selain mencari KPK juga menerbitkan surat perintah penangkapan," kata Ali.
Ali melanjutkan, penyidikan perkara ini telah dilakukan sejak 6 Desember 2019, dan untuk kepentingan penyidikan para tersangka sudah dicegah ke luar negeri sejak 12 Desember 2019. Tersangka juga telah mengajukan praperadilan dan telah di tolak oleh Hakim PN Jakarta selatan pada tanggal 21 Januari 2020.
"Kami ingatkan kembali agar para saksi yang dipanggil KPK bersikap koperatif dan pada semua pihak agar tidak coba-coba menghambat kerja penegak hukum," tegas Ali.
Ali mengujarkan, dalam proses penerbitan DPO, KPK telah mengirimkan surat pada Kapolri pada Selasa (11/2/2020) untuk meminta bantuan pencarian dan penangkapan terhadap para tersangka tersebut. KPK juga membuka akses penerimaan informasi bagi masyarakat yang mengetahui keberadaan para tersangka untuk melaporkan kepada kantor kepolisian terdekat ataumenginformasikan pada KPK melalui Call Center 198 atau nomor telepon 021-25578300.
"Peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi sangat penting bagi KPK," kata Ali.
Dalam perkara ini, KPK menetapkan eks Sekretaris MA Nurhadi; menantu Nurhadi, Riezky Herbiono; dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto sebagai tersangka. KPK belum melakukan penahanan terhadap ketiganya.
Nurhadi dan Rezky diduga menerima suap dan gratifikasi dengan total Rp46 miliar terkait pengurusan perkara di MA tahun 2011-2016.
Dalam kasus suap, Nurhadi dan menantunya diduga menerima uang dari dua pengurusan perkara perdata di MA. Pertama, melibatkan PT Multicon Indrajaya Terminal melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (Persero).
Kemudian, terkait pengurusan perkara perdata sengketa saham di PT MIT dengan menerima Rp33,1 miliar.
Adapun terkait gratifikasi, tersangka Nurhadi melalui menantunya Rezky dalam rentang Oktober 2014-Agustus 2016 diduga menerima sejumlah uang dengan total sekitar Rp12,9 miliar terkait dengan penanganan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA dan permohonan perwalian.
Nurhadi dan Rezky disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 5 ayat (2) subsider Pasal 11 dan/atau Pasal 12B Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara itu Hiendra disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b subsider Pasal 13 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.