Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Draft Omnibus Law Dianggap Sengsarakan Nasib Buruh

Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dianggap menyengsarakan kelompok buruh. Terutama terkait upah minimum, kompensasi pemutusan hubungan kerja

Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Rachmat Hidayat
zoom-in Draft Omnibus Law Dianggap Sengsarakan Nasib Buruh
Lucius Genik
Massa buruh menggelar unjuk rasa menuntut pembatalan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (20/1/2020). 

TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA-Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dianggap menyengsarakan kelompok buruh. Terutama terkait upah minimum, kompensasi pemutusan hubungan kerja, belum lagi aturan mengenai kemudahan untuk mempekerjakan tenaga kerja asing.

Upah minimum akan didasarkan upah minimum provinsi. Pesangon dikurangi. Perusahaan bebas mempekerjakan tenaga kerja asing tanpa izin, meski angka pengangguran di Indonesia menurut BPS mencapai 7,05 juta orang.

Baca: Draf Omnibus Law Cipta Kerja Sebut PP Bisa Cabut UU, Ini Respons dari Mahfud MD hingga Yasonna Laoly

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan dalam draf Omnibus Law Cipta Kerja tak lagi diatur soal upah minimum kabupaten (UMK) dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK). Dengan demikian, penentuan upah minimum hanya berdasarkan upah minimum provinsi (UMP).

Saat ini upah minimum di Kabupaten Bekasi sebesar Rp4,4 juta dan Karawang Rp4,5 juta. Jika mengacu pada UMP Jawa Barat yang hanya Rp1,8 juta, artinya akan ada potensi pengurangan penghasilan bagi buruh usai Omnibus Law Cipta Kerja disahkan. "Itu namanya tidak punya otak," ujar Said di Jakarta, Senin (17/2/2020).

KSPI juga menyoroti perubahan perhitungan formula pesangon. Jumlah pesangon yang diterima buruh, ucap Said Iqbal, jika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berpotensi semakin kecil. "Kalau dalam aturan sekarang ditotal bisa 32 kali upah, kalau sekarang total mungkin hanya 18 kali," katanya.

Baca: Kata Politikus PDIP soal Kabar 3 WNI di Kapal Pesiar Diamond Princess Positif Virus Corona

Belum lagi memberikan kebebasan kepada pengusaha untuk menggunakan pekerja outsourcing di berbagai jabatan. Berbeda dengan aturan yang berlaku saat ini, di mana hanya ada lima pekerjaan yang boleh diisi outsourcing, yakni petugas kebersihan, katering, pihak keamanan, supir, lalu pertambangan atau perminyakan.

Baca: Rafly Harun Sebut Jangan Sampai Omnibus Law Untuk Ciptakan Monster Baru Kekuasan

Kemudahan bagi tenaga kerja asing (TKA) untuk bekerja di Indonesia juga diberikan. Sebab, sekarang ini tidak perlu lagi TKA wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Berita Rekomendasi

Ketua Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Mirah Sumirat mengatakan peraturan baru dalam RUU Cipta Kerja akan memberatkan kehidupan buruh usai kehilangan pekerjaan. Hidup buruh semakin berat karena mereka tetap harus membakar BPJS Kesehatan--yang tahun ini naik 100 persen, juga berbagai kebutuhan yang semakin naik. "Ini artinya mengakibatkan kemiskinan naik," katanya.

Mirah juga mengatakan kebijakan baru ini "bakal mempermudah PHK.". Sebab Perusahaan tak lagi diwajibkan melakukan diskusi dengan serikat pekerja jika ingin melakukan PHK.

Lima Poin Kontroversi Draf RUU Cipta Kerja:
1. Masuk enam hari kerja Pada pasal 89 poin 22 berisi perubahan dari pasal 79 UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Isinya, pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti bagi pekerja. Waktu istirahat wajib diberikan paling sedikit selama 30 menit setelah bekerja selama 4 jam, dan “Istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu,” demikian dikutip. Sedangkan, waktu kerja paling lama 8 jam perhari, dan 40 jam dalam satu minggu.

2. Ketentuan lembur Pada pasal 89 poin 20 tercantum, pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan untuk jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu. Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu serta skema periode kerja diatur dengan Peraturan Pemerintah.

3. Upah minimum ditetapkan gubernur Upah minimum tidak diatur secara nasional. Pada pasal 89 poin 24 disebutkan, Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Upah minimum tersebut dihitung dengan mempertimbangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Hanya, ketentuan tersebut tidak berlaku untuk industri kecil.

Demikian pula untuk industri karya akan dibuat ketentuan tersendiri. Selain itu, pada pasal 89 poin 30 disebutkan bahwa pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.

4. Ketentuan pesangon Saat terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib memberikan pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi buruh. Pada pasal 89 poin 45 disebutkan bahwa uang pesangon itu dihitung menurut masa kerja. Ketentuannya:

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas