Demokrat : Pemerintah Ingin Ancam Kebebasan Pers Lewat Omnibus Law
Perubahan pasal 11 dan pasal 18 dalam UU Pers, berdampak pada tertekannya pertumbuhan usaha media massa dan menutup ruang kebebasan pers.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Fraksi Demokrat Irwan menyebut pemerintah berusaha mengancam kebebasan pers melalui Omnibus Law Cipta Kerja dengan merubah dua pasal dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Menurutnya, perubahan pasal 11 dan pasal 18 dalam UU Pers, berdampak pada tertekannya pertumbuhan usaha media massa dan menutup ruang kebebasan pers.
"Yang lebih bahayanya lagi membunuh kebebasan pers dengan ancaman denda yang sangat besar padahal hak jawab sudah diatur dalam Undang-Undang Pers," ujar Irwan, Jakarta, Selasa (18/2/2020) malam.
Menurutnya, kalau perubahan dua pasal tersebut sampai lolos dan ditetapkan menjadi undang-undang, maka pers bisa menjadi korban industri hukum karena dendanya yang tinggi.
"Jasi saya pikir harus dihapus karena tidak punya urgensi untuk diubah. Jangan sampai kembali seperti jaman orde baru," papar Irwan.
Baca: Sempat Berpikir Positif, Kini Refly Harun Curiga Jokowi Gunakan Omnibus Law untuk Tumpuk Kekuasaan
Baca: Sebelum jadi Undang-undang Publik Diminta Beri Masukan Terkait Omnibus Law
Baca: Draft Omnibus Law Dianggap Sengsarakan Nasib Buruh
Dalam Omnibus Law, pemerintah mengubah dua pasal UU Pers yang terdiri dari Pasal 11 dan Pasal 18.
Pasal 11 UU Pers menjelaskan bahwa penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.
Sedangkan pada rancangan Omnibus Law, pasal tersebut diubah menjadi "Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal”.
Adapun, Pasal 18 ayat 1 UU Pers menjelaskan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja pers dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Pasal 18 ayat 2 UU Pers menjelaskan bahwa perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat 1 dan 2 serta Pasal 13 dipidana denda paling banyak Rp 500 juta.
Sedangkan Pasal 18 ayat 3 menjelaskan bahwa perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat 2 dan Pasal 12 dipidana denda paling banyak Rp 100 juta.
Melalui Omnibus Law, pidana denda untuk Pasal 18 ayat 1 dan 2 UU Pers dinaikkan menjadi Rp 2 miliar. Sedangkan, pidana denda dalam Pasal 18 ayat 3 UU Pers diubah menjadi sanksi administratif.
Pemerintah juga menambah satu ayat di Pasal 18 UU Pers. Ayat tersebut menjelaskan bahwa jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif pada Pasal 18 ayat 3 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Secara umum, Irwan juga menyebut Omnibus Law Cipta Kerja sebuah kompromi besar pemerintah, demi mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tapi sampai saat ini tidak tercapai.
"Untuk itulah kemudian Omnibus Law Cipta Kerja ini diolah sedemikian rupa, super instan untuk menerobos sekat-sekat investasi yang dianggap penyebab utama pertumbuhan ekonomi stagnan sampai saat ini," tutur Irwan.
"Sehingga semua yang menghambat pasti akan dihilangkan tak perduli menyengsarakan Buruh, mengekang Pers apalagi menerabas UUD," sambung Ketua DPP Demokrat itu.