Penasihat Hukum Arsyad Temenggung Sebut Jaksa KPK Tak Punya Legal Standing Ajukan Peninjauan Kembali
Penasihat hukum Syafruddin Arsyad Temenggung, Hasbullah mengatakan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan JPU pada KPK tidak memiliki landasan hukum
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggelar sidang pembacaan kesimpulan perkara Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor: 1555 K/Pid.Sus/2019 tanggal 9 Juli 2019 atas nama Syafruddin Arsyad Temenggung.
Tim Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi, selaku pemohon, dan tim penasihat hukum Syafruddin Arsyad Temenggung, selaku termohon secara bergantian membacakan kesimpulan selama persidangan.
Salah satu penasihat hukum Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT), Hasbullah mengatakan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan JPU pada KPK tidak memiliki landasan hukum.
Baca: Jaksa KPK Hadirkan Ahli Pidana dalam Sidang Peninjauan Kembali Atas Putusan Kasasi Arsyad Temenggung
Menurut dia, dari serangkaian keterangan ahli dan barang bukti, baik dari jaksa maupun dari kliennya tidak ada yang fakta yang bisa dijadikan dasar JPU KPK berwenang mengajukan PK.
"Sejak awal persidangan SAT yakin jika proses pengajuan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum tidak memenuhi landasan hukum, tidak memiliki legal standing maupun syarat subyektif dan obyektif," kata Hasbullah di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (12/3/2020).
Dia menjelaskan dasar diajukannya PK sudah diatur di Pasal 263 ayat (1) KUHAP, Putusan Mahkamah Konstitusi maupun Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dan Keputusan Mahkamah Agung.
Dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP, mengatur pihak yang mempunyai hak mengajukan PK hanya terpidana atau ahli warisnya dan putusan yang dapat diajukan PK hanya putusan pemidanaan.
Baca: Dewan Pengawas KPK Dikirimi Surat Pencabutan Permohonan Peninjauan Kembali Syafruddin Arsyad
"Sedangkan putusan menyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak bisa diajukan PK," katanya.
Untuk diketahui, Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), selaku pemohon, membacakan memori peninjauan kembali (PK) terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor: 1555 K/Pid.Sus/2019 tanggal 9 Juli 2019 atas nama terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung.
Baca: KPK Jadwal Ulang Panggil Zulkifli Hasan Jadi Saksi Kasus Suap Alih Fungsi Hutan di Riau
"Upaya hukum luar biasa dan terakhir untuk menemukan keadilan materiil dimaksudkan untuk mengoreksi keputusan yang keliru," kata Haerudin, Jaksa pada KPK, Kamis (9/1/2020).
Setidaknya terdapat dua poin yang menjadi landasan jaksa mengajukan memori PK.
Pertama, anggota majelis hakim melanggar prinsip imparsialitas dalam memutus perkara. Kedua, terdapat kontradiksi antara pertimbangan dengan putusan.
Haerudin mengungkapkan salah satu anggota majelis hakim perkara kasasi, Syafruddin Arsyad Temenggung kerap kali berkomunikasi dengan Ahmad Yani, selaku kuasa hukum Syafruddin Arsyad Temenggung berdasarkan Surat Kuasa No. 01/TPH-SAT/SK/I-2019 tanggal 10 Januari 2019.
"Sebelum perkara diputus ditingkat kasasi, berdasarkan (call data record,-red) terdapat beberapa kali komunikasi antara hakim ad hoc Syamsul Rakan Chaniago dan Ahmad Yani, selaku penasihat hukum terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung," ungkapnya.
Adapun, poin kedua, terdapat kontradiksi antara pertimbangan dengan putusan.
"Bahwa dalam amar putusannya majelis hakim menyatakan perbuatan terdakwa terbukti sebagaimana surat dakwaan Penuntut Umum, tetapi bukan merupakan tindak pidana. Hal ini bertentangan dengan pertimbangan putusan perkara a quo," kata dia.