Perppu Corona Potensi Langgar Konstitusi, Fraksi PKS Minta Ganti dengan Peraturan Baru
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Netty Prasetyiani mengungkap sejumlah alasan PKS menolak tegas Perppu no 1 tahun 2020.
Penulis: Reza Deni
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Netty Prasetyiani mengungkap sejumlah alasan PKS menolak tegas Perppu no 1 tahun 2020.
Menurutnya, Perppu tengang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19 berpotensi melanggar konstitusi dalam prinsip negara hukum.
"Ada ketentuan-ketentuan yang potensial bertentangan dengan konstitusi, utamanya prinsip negara hukum. Penolakan kali ini, kami minta Pemerintah agar segera mengganti Perppu no. 1 tahun 2020 dengan Perppu yang baru," ujar Netty dalam keerangan yang diterima Tribunnews, Kamis (7/5/2020).
Baca: Fadli Zon Sebut Perppu Corona Sulit Digugat: Kalau Misal Pak Prabowo Jadi Presiden akan Beda Sekali
Baca: Insentif untuk Sektor Kesehatan Kecil, PKS Ragu Perppu 1/2020 Bisa Fokus Selesaikan Covid-19
Penggantian draf Perppu, dikatakan Netty, bertujuan agar tidak ada lembaga, orang, atau pejabat yang "kebal hukum" yang mengarah pada impunitas dalam Perppu tersebut.
Netty mengurai, ada beberapa pasal di Perppu no. 1 tahun 2020 terutama pasal 27 ayat 2 dan 3 yang menegaskan bahwa anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam hal ini Menteri Keuangan dan pegawainya, sekretariat KSSK dan anggotanya, termasuk Bank Indonesia (BI), OJK, dan LPS yang tidak bisa dijerat hukum dalam melaksanakan perppu.
"Ini menggambarkan pemerintah sedang mempersiapkan upaya abuse of power, melindungi diri bila terjadi kebijakan yang membuat rugi keuangan negara. Jelas ini potensi melanggar konstitusi dan berpotensi terjadi moral hazard juga adverse selection," ujarnya.
Anggota Komisi IX itu memahami bahwa pemerintah sudah mengumumkan bahwa pandemi Covid-19 di Indonesia sebagai bencana kesehatan masyarakat.
"Dengan anggaran yang besar, prioritas yang digunakan pemerintah seharusnya menyelamatkan manusia dan kesehatan sehingga insentif pemerintah terhadap kesehatan dan Jaminan Sosial sangat mendesak dan harus lebih besar dari program pemulihan ekonomi,", lanjut Netty.
Netty mennghimpun informasi di lapangan banyak masalah seperti perlindungan terhadap dokter dan tenaga kesehatan, kebijakan PSBB, ketidakjelasan kebijakan tes, APD dalam negeri tidak terserap, distribusi APD dan alat kesehatan terhambat hingga pencairan dana yang lambat ke daerah.
Selain itu, kebijakan anggaran penanganan Covid-19 tidak memprioritaskan sektor UMKM, karena pemerintah lebih berfokus pada insentif industri dan ekonomi.
"Padahal UMKM Indonesia termasuk sektor paling terdampak Covid-19, tetapi justru memberi kontribusi ekonomi yang besar saat normal. Sebut saja, UMKM mampu menyerap hingga 90 persen total tenaga kerja hingga menyumbang 60,34 persen dari total PDB nasional. Saya harap pemerintah berubah dan memiliki keberpihakan terhadap UMKM", pungkasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.