Jokowi Naikkan Iuran BPJS di Tengah Pandemi, Ahli: Lebih Baik Perbaiki Data, Agar Tepat Sasaran
Ahli Hukum Tata Negara dari UNS, Agus Riewanto mengusulkan agar pemerintah memperbaiki data peserta BPJS agar bantuan tepat sasaran.
Penulis: Inza Maliana
Editor: bunga pradipta p
"Soal sistem pencegahan fraud, selama ini tidak dijelaskan pada publik."
"Pemerintah seperti percaya saja kepada kajian yang diperoleh dari satu pihak yakni BPJS, tanpa melibatkan pihak lain," jelas Agus.
Agus menyayangkan hal tersebut, pasalnya keterbukaan kepada publik mengenai anggaran masih bias.
"Mana saja anggarannya yang digunakan untuk kegiatan iuran BPJS dan mana aspek yang sudah dilakukan kalau ada malpraktik kewenangan penggunaan anggaran yang tidak tepat," paparnya.
Oleh karena itu, menurut Agus, kebijakan menaikkan iuran BPJS adalah kebijakan yang tidak konsisten.
Alasannya, di satu sisi, masyarakat yang terdampak corona terbantu dengan pemberian bantuan langsung tunai sebesar Rp 600 ribu atau bantuan sembako.
Namun, dalam kebijakan terbarunya ini, masyarakat juga harus membayar kenaikan iuran BPJS.
Baca: DPR Sebut Jokowi Abaikan Putusan Mahkamah Agung Soal Iuran BPJS Kesehatan
"Di satu sisi merealokasi APBN untuk masyarakat miskin yang terkena dampak corona, di sisi lain dinaikkan iuran BPJS-nya."
"Ini tidak konsisten antara satu kebijakan dengan kebijakan yang lain," terangnya.
Sebelumnya diberitakan, Presiden Jokowi kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi corona.
Kenaikan ini diatur dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Kebijakan pun didorong oleh Jokowi pada Selasa (5/5/2020) lalu.
Kenaikan ini khususnya bagi peserta mandiri yang terdiri dari Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) yang diatur dalam Pasal 34.
Kenaikan pun mulai berlaku pada 1 Juli 2020 mendatang.
(Tribunnews.com/Maliana)