ICW Desak Pemerintah dan DPR Hentikan Pembahasan RUU Pemasyarakatan di Tengah Pandemi Covid-19
ICW mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan (RUU-Pas).
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
Merujuk Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) praktis persyaratan narapidana kasus korupsi untuk kemudian mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat hanya berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan, telah menunjukkan penurunan tingkat risiko, dan untuk bagian cuti menjelang bebas dan pembebasan bersyarat mencantumkan ketentuan kewajiban telah menjalani dua per tiga dari masa pidana.
"Ini menandakan pola pikir pembentuk UU ingin menyamaratakan perlakuan narapidana korupsi dengan narapidana tindak pidana umum lainnya," katanya.
Apalagi, RUU Pemasyarakan menghapus ketentuan PP 99/2012 yang memperketat syarat remisi bagi koruptor dan narapidana kejahatan luar biasa lainnya.
Kurnia menyatakan dengan dihapusnya ketentuan PP 99/2012 dan mengembalikan PP Nomor 32 Tahun 1999 menunjukkan kemunduran pola pikir dari pembentuk UU.
Hal ini lantaran PP 99/2012 merupakan regulasi yang progresif untuk menggambarkan konteks kejahatan korupsi sebagai extraordinary crime.
"Sebab, dalam PP 99/2012 terdapat beberapa syarat khusus bagi narapidana korupsi untuk bisa mendapatkan remisi, asimiliasi maupun pembebasan bersyarat."
"Mulai dari harus menjadi justice collaborator dan membayar lunas denda dan uang pengganti untuk mendapatkan remisi dan mewajibkan Direktur Jenderal Pemasyarakatan meminta rekomendasi dari penegak hukum sebelum memberikan asimilasi atau pembebasan bersyarat. Pengetatan model seperti ini tidak terakomodir dalam PP/32/1999," katanya.
Selain secara substansi, ICW meminta pembahasan RUU-Pas dihentikan karena saat ini DPR dan pemerintah seharusnya fokus menanggulangi pandemi corona.
Salah satunya dengan mengeluarkan paket kebijakan atau pun regulasi-regulasi yang mendukung hal tersebut.
"Namun yang dilakukan justru sebaliknya, DPR dan Pemerintah justru ingin mempercepat produk legislasi bermasalah seperti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, RUU Cipta Kerja, RUU Mahkamah Konstitusi, dan RUU PAS," ujarnya.
Tak hanya itu, Kurnia menegaskan dilanjutkannya pembahasan RUU-Pas bertentangan dengan suara masyarakat. Hal ini lantaran RUU-Pas merupakan salah satu RUU yang ditolak berbagai elemen masyarakat dengan menggelar aksi #ReformasiDikorupsi pada September 2019 lalu. RUU-Pas ini juga menjauhkan efek jera kepada koruptor.
Padahal, Lapas seharusnya menjadi ujung proses penanganan sebuah perkara. Lebih jauh, Kurnia menyatakan, RUU-Pas menegasikan Kesepakatan United Nation Convention Against Corruption (UNCAC), terutama Pasal 30 ayat (5) yang secara tegas menyatakan negara peserta diwajibkan memperhitungkan ringan/beratnya kejahatan pelaku ketika mempertimbangkan kemungkinan pembebasan yang dipercepat atau pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi.
Sementara, Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi UNCAC dengan UU Nomor 7 Tahun 2006 yang berkewajiban mengikuti setiap rekomendasi kesepakatan internasional ini.
RUU Pemasyarakatan juga mengabaikan putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang telah menegaskan PP 99/2012 menjadi cermin keadilan karena menunjukkan pembedaan antara kejahatan biasa dengan kejahatan yang menelan biaya tinggi secara sosial, ekonomi, dan politik serta tidak bertentangan dengan konstitusi serta tidak juga melanggar HAM.
"Sebab, remisi merupakan hak hukum bagi seorang narapidana korupsi dan jika ingin mendapatkannya wajib memenuhi persyaratan sebagaimana yang tetuang dalam PP 99/2012," kata dia.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.