Wamendes Beberkan Ciri-ciri Pengelolaan Dana Desa yang Tidak Efektif dan Transparan
Ciri-ciri pertama adalah tidak adanya papan proyek pada pengerjaan pembangunan yang menggunakan Dana Desa.
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Budi Arie Setiadi mengungkapkan terdapat sejumlah ciri-ciri pengelolaan Dana Desa yang tidak efektif dan transparan.
Budi Arie mengatakan dirinya mendapatkan ciri-ciri tersebut setelah melakukan pengamatan terhadap sejumlah desa selama dirinya menjabat sebagai Wamendes PDTT.
"Ini ketika kita berkunjung ke sebuah desa maka kita bisa lihat ini ciri-ciri desa yang sangat tidak efektif dan sangat tidak transparan," ujar Budi Arie dalam diskusi webinar Kongres Kebudayaan Desa, Rabu (1/7/2020).
Baca: Wamendes: Anak Muda yang Inovatif jadi Prasyarat Kemajuan Desa
Ciri-ciri pertama adalah tidak adanya papan proyek pada pengerjaan pembangunan yang menggunakan Dana Desa.
Menurutnya hal ini menunjukan tidak transparannya penggunaan Dana Desa.
Ciri kedua adalah kesamaan antara laporan realisasi penggunaan Dana Desa dengan rencana anggaran biaya (RAB). Menurutnya banyak pemerintah yang menjiplak laporan realisasi dari RAB.
"Ini banyak kita temukan di beberapa desa, cuma copy paste saja," tutur Budi Arie.
Selain itu, ditemukan lembaga desa yang pengurusnya diisi oleh keluarga kepala desa. Lalu ada pula desa yang miliki Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tidak aktif.
Budi Arie mengungkapkan ada juga kasus kepala desa memegang semua Dana Desa. Sementara bendahara desa hanya bertugas saat berurusan dengan pihak bank.
Ada juga kasus penyingkiran perangkat desa yang jujur dan vokal dalam pemanfaatan Dana Desa. Hingga banyak kegiatan desa terlambat pelaksanaannya dari jadwal.
"Padahal anggarannya sudah ada. Ini ciri-ciri tidak efektif dan tidak transparan," tutur Budi Arie.
Bahkan terdapat kasus musyawarah desa yang pesertanya sedikit. Pihak yang kritis dalam pengelolaan Dana Desa biasanya tidak diundang.
Serta tidak berkembangnya Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) pada sebuah desa. Serta monopoli pengadaan barang atau jasa oleh kepala desa.
"Ada pula yang pemerintah desanya marah ketika ada menanyakan anggaran kegiatan dan anggaran desa," kata Budi Arie.
Hingga ciri yang terakhir adalah kepemilikan harta kepala desa dan perangkatnya yang tidak rasional.
Perangkat desa dalam waktu singkat bisa memiliki mobil dan membangun rumah dengan harga ratusan juta padahal sumber penghasilan tidak sepadan.