Bambang Brodjonegoro Ikut Sibuk Perangi Covid-19: Rapid Test Produk Indonesia Akurasinya 90 Persen
Sebuah BUMN di Bandung, bakal melakukan uji klinis tahap 3 terhadap vaksin produksi sebuah perusahaan di China, Sinopec.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Dewi Agustina
Saya memang bukan dokter tapi yang saya pahami rapid test berguna untuk screening, mengetahui apakah seseorang itu sedang bereaksi positif terhadap tes bersangkutan. Untuk mengetahui apakah ada kemungkinan terkena Covid-19 atau tidak.
Sedangkan untuk menentukan apakah seseorang itu memang terkena Covid-19 atau tidak, itu memang swab test atau PCR.
Rapid test yang kami kembangkan itu memang diusahakan mampu menjawab dua tantangan yang banyak muncul di masyarakat, yaitu akurasi dan biaya.
Nah, terkait akurasi, kami mengembangkan rapid test menggunakan isolat virus yang beredar di Indonesia.
Piranti rapid test impor sudah pasti mereka menggunakan isolat virus yang beredar di negara mereka.
Sedangkan kami dari awal sudah menggunakan isolat virus di Indonesia, kemudian dilakukan pengujian di Lembaga Eijkman untuk memastikan apakah ada perbedaan hasil antara rapid test dengan swab test.
Hasilnya bisa disimpulkan tingkat akurasi piranti rapid test buatan Indonesia lebih dari 90 persen. Mengenai harga justru kami yang pertama men-declare per tesnya Rp 75 ribu.
Itu kemudian yang membuat Kementerian Kesehatan menerbitkan harga tertinggi rapid test Rp 150 ribu dengan menghitung Rp 75 ribu untuk test kit-nya, ditambah biaya tenaga yang melakukan rapid test, biaya APD yang diperlukan dan lain-lain. Kami berupaya agar harga rapid test itu menjadi lebih terjangkau.
Baca: Begini Respon Menristek Sikapi Klaim Ditemukannya Obat Covid-19
Saat ini Indonesia lebih banyak menggunakan alat rapid test dari negeri sendiri atau impor?
Yang pasti masih banyak menggunakan test kit impor. Kita baru mulai produksi test kit sekira Juni-Juli. Jumlah produksinya masih kecil sekali, 100 ribu unit per bulan. Baru pada Agustus jumlah produksinya meningkat jadi 250 ribu unit per bulan.
Insyaallah pada September akan menungkat lagi jadi 1 juta unit per bulan. Kami harapkan kalau sudah jumlah produksi sudah kontinyu 1 juta dan berpotensi naik 2 juta unit per bulan, tidak perlu menggunakan test kit impor.
Dengan begitu tingkat akurasi lebih tinggi dan harga lebih murah. Saya baca mengapa orang ribut terkait rapid test, ya karena ketika kita naik kereta api biaya rapid test lebih mahal daripada harga tiketnya.
Kementerian Ristek-BRIN ikut terlibat dalam uji klinis tahap 3 vaksin Covid-19 dari China?
Tentu terlibat karena uji klinisnya itu dikoordinasikan oleh Universitas Padjajaran. Profesor Kusnandi Rusmil sudah terlibat di tim Konsorsium Riset dan Inovasi Covid yang memang khusus terkait vaksin.