Pelibatan 'Jeger' Dalam Penegakan Protokol Kesehatan Bisa Picu Konflik Horizontal
Pemerintah mewacanakan akan melibatkan preman atau 'jeger' dalam mengawasi penerapan protokol kesehatan
Editor: Hendra Gunawan
"Ini bertolak belakang dengan upaya pemberantasan premanisme," ucap Bambang.
Menurut Bambang, Polri bisa bekerja sama dengan Satpol PP dan Satuan Pengamanan (Satpam) selaku pihak Pemda.
"Kalau Wakapolri paham, harusnya lebih mengutamakan komponen-komponen yang sudah berada dalam binaannya. Bukan malah memberdayakan preman," ujarnya.
Bambang berpendapat, masih ada cara lain yang dapat dilakukan Polri, jika masyarakat di pasar tak mentaati protokol kesehatan yaitu dengan menindak tegas penanggungjawab pasar.
Bahkan, opsi terburuk menutup pasar tersebut.
"Hal-hal semacam inilah yang harus jadi fokus kepolisian," ucap dia.
Potensi kekerasan
Juru Bicara Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengakui keberadaan pemimpin informal di pasar akan berpengaruh agar masyarakat menaati protokol kesehatan.
Namun, Polri tetap harus mewaspadai potensi kekerasan jika teguran atau imbauan pemimpin informal pasar seperti preman tidak diterima dengan baik.
"Potensi abusive melalui teguran dan tindakan, misalnya nada suara tinggi atau membentak, atau misalnya jika ada orang yang ngeyel tidak mau pakai masker akan terjadi adu fisik," kata Poengky.
Berdasarkan hal tersebut, Poengky mendukung agar kerja sama dengan "jeger pasar" harus didampingi TNI-Polri.
"Oleh karena itu harus selalu didampingi aparat kepolisian, misalnya Bhabinkamtibmas yang bertugas di pasar, yang memahami dan mengenal medan," tutur dia.
Picu konflik horizontal
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti meminta Kapolri Jenderal Idham Azis membatalkan pelibatan preman dalam penegakan protokol kesehatan.