Susi Pudjiastuti Ceritakan Asal Usul Nama Perusahaannya Susi Air, Bermula dari Tsunami Aceh
Di tengah keberlangsungan mengembangkan bisnis, terjadi bencana tsunami Aceh pada 2004. Pesawat Susi akhirnya digunakan untuk membantu korban.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti cerita di balik kesuksesannya dari seorang anak yang putus sekolah, seorang pengusaha sukses, hingga menjabat sebagai menteri.
Dalam perjalanan hidupnya, kata Susi, banyak hal yang tidak perlu dicontoh.
Seperti saat ia berhenti di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Apalagi di Indonesia memerlukan ijazah sebagai tolak ukur kualifikasi utama seseorang bekerja.
Susi sempat satu bangku dengan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Indonesia (BMKG) Dwikorita Karnawati di SMA.
Susi berkelakar ketularan pintar dari Dwikorita.
"Jadi kalau saya ketularan pintar itu wajar. Karena sebelah saya jadi rektor dan profesor sekarang Kepala BMKG. Jadi walaupun dua tahun bareng-bareng kita ketularan baiknya, pintarnya," ujar Susi, Kamis (26/11/2020).
Susi memutuskan berhenti sekolah atas keputusannya sendiri.
Keputusan itu membuatnya sempat berselisih dengan orang tua, terutama sang ayah.
Baca juga: Cerita Susi Pudjiastuti Berhenti Sekolah, Jual Perhiasan untuk Modal Berdagang Hingga Jadi Menteri
Di masa itu, ia memutuskan untuk membuka usaha. Bahkan sempat menjual perhiasan senilai Rp 750 ribu, untuk kemudian membuka usaha perikanan.
"Dari situ jualan ikan di Jakarta, Semarang, Cilacap, kirim dari Pangandaran, terus ekspor tahun 1996. Sempat juga ditipu sama orang Korea. Terus jalan lagi, ya jatuh bangun sampai 1996 kita ekspor sendiri," tutur Susi.
Usahanya sempat jatuh bangun. Hingga 2001 berhenti ekspor karena produk perikanan di Indonesia sempat hilang.
Empat tahun kemudian, Susi baru mengetahui penyebab hilangnya ikan, lantaran ada kapal-kapal asing berukuran besar menjaring ikan di perairan nusantara.
"Saat itu Kementerian Kelautan dan Perikanan membuka izin kapal-kapal asing bisa menangkap ikan di Indonesia dengan membeli izin, konsesi. Mereka pintar beli izin satu kapalnya sepuluh, mungkin 20, catnya warnanya sama," ucap Susi.
Sejak itu lah, Susi sebagai pengusaha bersuara, memprotes mengenai ilegal fishing di Indonesia. Namun suaranya tak didengar.
"Tapi tidak ada yang dengar, Susi siapa?" katanya.
Setelah ia menjabat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan pada periode 2014-2019. Terhitung sejak ia menjabat, terdapat lebih dari 500 kapal ilegal fishing yang ditenggelamkan.
Susi mengatakan terdapat lebih dari 10 ribu kapal asing beroperasi di Indonesia.
"Saya jadi menteri illegal fishing tenggelamkan baru semua mau tenggelamkan itu pun karena Pak Presiden nyuruh tiga kali untuk menenggelamkan. Kalau tidak, tidak ada yang tenggelamkan," imbuh Susi.
Pada 2005, Susi membeli pesawat. Digunakan untuk melakukan pengiriman ikan dari Pangandaran ke kota lainnya.
Bahkan berbisnis lobster, namun bukan benur lobster melainkan lobster berukuran yang sudah bisa dikonsumsi.
"Terus lobster yang hidup, tapi lobster besar bukan lobster bibit ya. Saya beli lobster besar saja. Jadi consumable size, yaitu 200 gram ke atas. Waktu itu karena tidak ada pembatasan nelayan ambil sampai 100 gram tapi bukan yang 1 gram. Satu hari kita bisa kirim 500 kg. Tapi kalau pakai mobil 12 jam banyak yang mati. Makanya pengen beli pesawat," kata Susi.
Baca juga: Dicecar Soal Ekspor Benih Lobster, Susi Pudjiastuti: Saya Tidak Pernah Berubah, Susi Tetap Susi
Bisnisnya pun terus berkembang dari satu pesawat, hingga bertambah secara berkala.
Di tengah keberlangsungan mengembangkan bisnis, terjadi bencana tsunami Aceh pada 2004. Pesawatnya pun digunakan untuk membantu korban.
"Jadi saya pakai untuk tsunami. Jadi Susi Air tidak direncanakan ada. Jadi karena tsunami orang CNN bilang kita naik Susi Air makanya akhirnya ada nama Susi Air," terang Susi.
Dari situ akhirnya mulai merintis usaha di bidang penerbangan. Namun karena Covid-19, bisnis penerbangan terganggu.
Membuatnya berpikir untuk mengubah struktur perusahaan, dan menjalankan bisnis baru.
"Kantor dari 10 kita tutup 8 jadi tinggal 2. Karyawan yang tadinya banyak kita rumahkan atau work from home. Sekarang kita tarik untuk kerja di kafe lah. Kalau tidak mau kita cari orang baru untuk kerja di restoran dan merchandise," cerita Susi.
Melihat Peluang di Tengah Pandemi
Susi melihat di tengah pandemi ini, masyarakat Indonesia harus jeli melihat peluang. Bahkan, menurut dia, ini adalah kesempatan bagi Indonesia untuk bangkit memproduksi untuk pasarnya sendiri.
"Apapun itu, jadi kalau saya tahu di belakangan sebelum covid di Pangandaran banyak souvenir baju-baju pantai. Itu banyak batiknya itu bukan produksi dalam negeri tapi impor dari China. Jadi bukan lagi dari Klaten, Solo, Jogja. Datang dari sana tapi impor," kata Susi.
Susi menyarankan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) meminta kepada pemerintah untuk membatasi produk impor di saat pandemi, misal produk makanan atau pakaian.
Sehingga pelaku UMKM bisa berkembang, dan Indonesia bisa mandiri memenuhi pasar dalam negeri.
"Sejelek-jeleknya ekonomi Indonesia kita masih sehari kalau setiap orang butuh 100 gram nasi saja sekian juta ton kalau hanya 50 persen yang makan nasi sudah 135 juta orang kali 100 gram berapa ton per hari. Itu baru nasi saja. Belum makanan lain. Kebutuhan akan baju rumah misalnya masa pakaian saja harus impor," tutur Susi.
Baca juga: Respon Tegas Susi Pudjiastuti soal Kebijakannya Dinilai Kerap Bertentangan dengan Edhy Prabowo
Namun pelaku UMKM juga harus tahu apa yang dibutuhkan oleh pasar Indonesia. Produk apa yang hendak diproduksi, dan pasar mana yang disasar.
"Kita pikirkan siapa yang akan beli produk kita, kalangan muda, tua, pasar lokal, regional, Eropa atau Amerika atau domestik. Kita bagi lagi middle income class, high end," ucap Susi.
Susi memandang ketika vaksin Covid-19 ada, belum tentu persoalan akibat pandemi termasuk persoalan ekonomi akan langsung selesai. Karena itu pemerintah perlu merancang strategi untuk dua tahun ke depan.
"Harus memastikan setelah dua tahun lewat produk mereka punya tempat untuk domestik. Kalau pintu (impor) terbuka lebar UMKM itu kecil dan tidak bisa bersaing," tegas Susi. (tribun network/denis)